Olah Raga, Olah Jiwa

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya

Membaca Sedari Muda

Membaca : Membuka Cakrawala Dunia

Yang Muda Yang Berkarya

Berikan aku 10 Pemuda kan ku guncang dunia

Profesional

Kenali Diri, Kembangkan Diri, Jadilah Profesional

Belajar Sepanjang Hayat

Belajar sepanjang waktu, belajar dimanapun berada

2 Desember 2015

Sembuhkan Flu dengan Semangkuk Sup Ayam

REPUBLIKA.CO.ID, Flu salah satu penyakit yang sering melanda siapa saja. Terutama pada musim pancaroba mendekati musim hujan seperti saat ini.
Banyak dari Anda mengambil langkah praktis yakni minum obat warung atau bergegas pergi ke dokter untuk menyembuhkannya.

Akan tetapi, tubuh bila terlalu sering mengonsumsi obat seperti antibiotik memiliki kemungkinan akan kebal terhadap jenis obat tersebut. Lebih baik Anda gunakan cara mudah ini untuk mengurangi minum obat seperti yang dilansir laman Boldksy Selasa (1/12).

Makan sup ayam
Selain membuat hidung ini mati rasa, flu juga bisa membuat rasa di lidah menjadi hambar. Dengan mengonsumsi sup ayam hangat, dapat mengembalikan rasa di lidah.
(Baca juga: Terlalu Lelah Bekerja, Penyebab Flu dan Batuk)

Minum air jahe
Jahe hangat dapat membantu Anda terbebas dari hidung tersumbat dan tenggorokan gatal. Efek hangat dari jahe sangat ampuh meredakan gangguan yang disebabkan oleh flu.

Konsumsi makanan pedas
Cukup tambahkan lada atau cabai ke dalam makanan yang Anda konsumsi, seperti sup. Rasa pedas yang ditimbulkan dapat melegakan hidung dan menghangatkan tenggorokan.

Istirahat yang cukup
Semua keluhan penyakit yang ada di dalam tubuh hanya bisa selesai bila Anda beristirahat yang cukup. Jika semua yang tertulis di atas sudah Anda lakukan, langkah terakhir untuk mengembalikan tubuh yang prima hanya dengan tidur cukup dan rileks. Jika Anda bersikeras tetap melakukan aktivitas, waktu sembuh akan menjadi semakin lama.

Sumber : republika.co.id

Cara Ampuh Sembuhkan Flu tanpa Harus Minum Obat

REPUBLIKA.CO.ID, Flu salah satu penyakit yang sering melanda siapa saja. Terutama pada musim pancaroba mendekati musim hujan seperti saat ini.

Banyak dari Anda mengambil langkah praktis yakni minum obat warung atau bergegas pergi ke dokter untuk menyembuhkannya.

Akan tetapi, tubuh bila terlalu sering mengonsumsi obat seperti antibiotik memiliki kemungkinan akan kebal terhadap jenis obat tersebut. Lebih baik Anda gunakan cara mudah ini untuk mengurangi minum obat seperti yang dilansir laman Boldksy Selasa (1/12).

Banyak minum air hangat
Flu membuat tubuh menjadi dehidrasi atau kekurangan cairan. Minumlah setiap setengah sampai satu jam sekali segelas air hangat. Selain untuk mendapatkan cairan yang maksimal pada tubuh, air hangat mampu mengatasi hidung dan tenggorokan yang tersumbat karena flu.
(Baca juga: Kurang Tidur Picu Kerentanan Terhadap Flu)

Kumur dengan teh
Bila Anda terserang flu beserta batuk, untuk mengurangi dahak yang sangat mengganggu di tenggorokan, disarankan untuk berkumur dengan air yang telah diseduh teh. Ini sangat membantu Anda untuk mengeluarkan dahak dan membuat tenggorokan lebih lega.

Hirup uap air
Untuk mengatasi hidung tersumbat Anda bisa menghirup uap air panas. Ambil air yang baru matang dan tuang ke dalam baskom, tutupi kepala dengan handuk dan dekatkan wajah untuk menghirup dalam-dalam uap air yang merangkak naik ke atas. Lakukan hal ini berulang-ulang sampai masalah hidung tersumbat bisa diatasi.

Kumur dengan air garam
Berkumur dengan air garam dapat menghilangkan virus di tenggorokan. Lakukan hal ini berulang-ulang hingga kondisi membaik.

Sumber : republika.co.id

16 Juli 2015

Selamatkan Pendidikan Dasar Kita!


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Ghafur, ST., M.Ed (Alumni Hiroshima University)

Hasil Ujian Nasional (UN) telah diumumkan. Setelah SMA dan SMP, terakhir jenjang SD mengikutinya. Saya sebagai orang tua yang anaknya ikut UN SD hanya menanggapinya biasa-biasa saja. Tak ada rasa khawatir berlebih kalau anak saya tidak lulus. Begitu juga dengan kecemasan jika nilai UN-nya jelek sehingga membuatnya susah untuk masuk ke sekolah negeri pilihan.

Sejak jauh hari, saya memang sengaja telah mendaftarkannya ke sekolah swasta. Di sana, ia sudah diterima. Tentunya, harus dengan cara mengelus dada. Mengapa? Karena saya harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membiayai anak saya masuk ke sekolah swasta tersebut.

Tapi yang hendak saya sampaikan di sini, bukanlah umbar-mengumbar rasa deg-degan hasil UN anak saya yang sudah lewat. Justru hasil UN itulah yang menyemburatkan rasa miris. Merujuk informasi yang saya peroleh, ternyata peringkat 10 besar hasil UN SD di kota saya tinggal itu didominasi oleh sekolah swasta. Perlu diketahui, saat ini saya bermukim di Depok. Di daerah ini, hanya ada 2 sekolah negeri saja yang mampu bersaing masuk di 10 peringkat ini. Tapi itu pun bukan berada diurutan awal. Hmm...

Informasi yang saya peroleh, terdapat 405 SD di kota tempat saya tinggal. Dari jumlah tersebut, sekolah negeri mendominasi secara jumlah. Sekolah swasta hanya beberapa persennya saja. Dengan komposisi mayoritas, sepatutnya sekolah negeri yang menguasai peringkat 10 besar. Kenyataannya ternyata tidak demikian. Prestasi sekolah negeri justru terpuruk. Bukan tahun ini saja, tapi sudah terjadi padra tahun-tahun sebelumnya.

Faktor apa yang menjadi penyebabnya? Ada banyak yang bilang karena kesejahteraan guru swasta lebih tinggi dibanding guru di sekolah negeri. Masa iya? Bukankah sekarang ini sudah ada sertifikasi guru sehingga membuat kesejahteraan guru-guru PNS jauh lebih baik dibandingkan dulu?

Lantas benarkah premis guru swasta itu sungguh bergelimang gaji besar dibandingkan guru PNS? Ah, siapa bilang mereka lebih sejahtera. Dari hasil bisik-bisik tetangga terungkap para guru sekolah swasta itu justru banyak yang 'menggemaskan' secara gaji. Padahal, biaya sekolah swasta itu tidaklah murah. Jadi kemanakah uang itu mengalir? Ya pemilik yayasanlah yang lebih tahu, tentunya.

Terlepas dari urusan gaji, sesungguhnya persoalan terpuruknya kualitas sekolah negeri ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Khususnya SD yang menjadi peletak pendidikan dasar. Jika ini dibiarkan terus, tentu saja hal ini dapat menghancurkan dari segi sistem dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.

Awal Kehancuran
Kehancuran itu telah dimulai ketika banyak orang tua yang enggan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah negeri. Mereka lebih percaya dan memilih sekolah swasta untuk pendidikan dasar anak-anak mereka. Saat itulah kian menguatnya keyakinan sekolah negeri kualitasnya sungguh “mengerikan” bagi masa depan anak-anak mereka. Alhasil, bisa jadi sekolah-sekolah negeri akan kehilangan banyak murid. Jika kondisinya demikian, semoga saja kita tidak terdengar adanya penutupan sekolah negeri.

Di sisi yang lain, ketika permintaan ke sekolah swasta meningkat hal ini justru menyisakan persoalan. Bagi orang-orang bermodal besar, ini adalah peluang yang menggiurkan. Mereka bakal berlomba-lomba mendirikan sekolah baru karena berpotensi besar menjadi ATM di masa depan. Dalam benaknya, sekolah adalah kendaraan tepat untuk mendulang rupiah.

Kondisi ini diperkuat karena tipikal orang tua siswa adalah konsumen yang lemah. Mereka tidak berkutik jika sekolah swasta meminta biaya ini dan itu. Keluhan-keluhan dan segala macam curhatan orang tua dibanyak kasus hanya menjadi obrolan warung kopi yang tidak memberikan efek perubahan apa-apa. Mereka terperah, tak berdaya dihadapan pengelola yayasan.

Kalau sudah begini, masyarakat luas yang dirugikan. Mereka tidak bisa lagi menikmati layanan pendidikan dasar yang murah dan berkualitas. Pendidikan terkepung oleh naluri-naluri pengejaran profit semata sekelompok orang. Atau kalau bukan profit yang dikejar maka motif penanaman ideologi tertentu dari sekelompok gerakan.

Dalam masyarakat timbul pembedaan-pembedaan golongan. Orang tua yang berkemampuan secara ekonomi akan memasukkan anaknya ke sekolah bagus dan mahal. Dan itu identik dengan sekolah yang berkualitas dimana ATM bank pun disediakan di lokal sekolah. Sedang orang tua yang tidak diuntungkan secara finansial akan terpaksa menyekolahkan anaknya di sekolah apa adanya dan murah.

Sebenarnya ujung-ujungnya negara juga yang rugi. Coba pikirkan, bisa jadi akan banyak masalah sosial akibat pembedaan kelas masyarakat. Selanjutnya, negara berpotensi kehilangan anak berbakat potensial yang karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya pada akhirnya hanya bisa bersekolah dengan kualitas apa adanya.

Kemudian, negara kehilangan waktu terbaik anak untuk menanamkan sikap nasionalisme kebangsaan kepada generasi-generasi penerus. Menanamkan sikap yang paling efektif pada saat anak-anak berada di pendidikan dasar. Dan masih banyak lagi seperti kehilangan daya beli masyarakat kelas menengah karena pengeluaran mereka banyak tersedot untuk biaya sekolah anak.

Oleh karenanya, pendidikan dasar harus diatur benar tata kelolanya sehingga banyak memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat dan bangsa. Negara harus memberikan perhatian yang besar dalam bentuk aksi nyata peningkatan kualitasnya.

Lebih penting lagi, pendidikan dasar setingkat SD dan SMP harus diproteksi negara dari serbuan sekolah-sekolah swasta. Rasanya, masih ada waktu untuk menyelamatkan pendidikan dasar kita. So, sekaranglah waktunya untuk menyelamatkan pendidikan dasar di negeri ini.

Sumber : www.republika.co.id, klik https://goo.gl/Wqk9L6

4 Juli 2015

Ironi Pendidikan di Negeri Ini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdul Ghafur (staf Kementerian Pendidikan dan Kedudayaan serta alumni Hiroshima University )

Zaman kuliah dulu, saya termasuk mahasiswa yang rajin menjadi pengajar privat. Anak-anak yang saya ajarkan, umumnya berpendidikan SMP. Mereka tersebar di berbagai tempat.

Penghasilan sebagai pengajar privat ini sudah cukup buat saya untuk memperpanjang nafas sampai akhir bulan. Melalui pekerjaan sampingan inilah, saya mendapatkan hasil lumayan. Setidaknya buat saya wara wiri membiayai living cost yang tidak murah.

Manfaat lain dari pekerjaan sampingan tersebut, tersimpan sebuah niat mulia agar saya tidak terlalu sering meminta dana kepada orang tua. Maklum saja, ayah saya hanya seorang guru SD di Jakarta. Pada masa itu, pendapatannya belum setajir seperti guru-guru DKI masa sekarang. Lalu ibu saya, hanya menyandang status sebagai ibu rumah tangga. Dengan menjadi pengajar privat, tentunya saya sudah bisa turut meringankan beban kedua orang tua.

Anak-anak yang saya ajar itu berasal dari sekolah swasta. Jika tak salah mengingat, tak ada dari mereka yang berasal dari sekolah negeri. Ya, mungkin hanya golongan ekonomi mereka saja yang mampu membayar seorang guru privat untuk anak-anaknya. Saya sangat paham itu karena bayaran mendatangkan guru privat tentu tidak murah.

Sehabis mengajar saya selalu menyempatkan diri untuk obrol sana dan sini dengan orang tua anak. Ujungnya, dengan proses bercerita yang mengalir, saya kerap memperoleh informasi seputar bayaran sekolah sang anak. Mendengar jawabannya, saya hanya bisa terhenyak kaget. Senyuman pun terasa getir.

Ternyata bayaran mereka yang baru menginjak level pendidikan dasar saja sudah bisa melebihi bayaran kuliah per semester saya di Universitas Indonesia (UI). Dengan mencoba berbesar hati, saya berusaha bersikap permisif. ''Ah namanya juga swasta, pasti hebohlah bayarannya,'' hanya dalam hati saya bergumam tentang bayaran anak-anak yang saya ajar privat itu.

Sayangnya, pengalaman itu terus berlanjut hingga kini. Kabarnya ada sekola berlevel sekolah dasar itu yang berani mematok biaya pendidikannya hampir setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) buruh yang bekerja di Jakarta! Sungguh, tak terbayang berapa penghasilan orang tua mereka.

Tak heran jika kemudian pendidikan di negeri ini telah menjelma menjadi bisnis yang sungguh menjanjikan. Lihat saja di kanan-kiri lingkungan sekitar kita. Tiba-tiba saja berdiri sebuah bangunan sekolah dengan biaya yang tak murah. Anehnya, semakin mahal biaya yang dipatok pengelola sekolah, orang tua yang mendaftar menjadi semakin mengantre. Saya pun bingung untuk menyebut fenomena semacam ini.

Sedihnya, yang banyak disasar oleh pemodal itu ternyata hanya sampai level pendidikan dasar saja. Asumsi saya karena modal yang dibutuhkan tak terlalu besar dibandingkan berinvestasi untuk pendidikan tinggi.

Dengan berinvestasi di level pendidikan dasar, upaya melakukan break event point tak terlalu lama. Coba pendidikan tinggi, investasinya terlalu besar. Mereka harus menyediakan laboratorium, bayar doktor, akreditasi dan lain sebagainya. Fenomena semacam ini justru terlihat terbalik jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jepang.

Semasa saya berkuliah di negeri Matahari Terbit itu saya melihat pemerintah setempat membuat regulasi yang ketat. Pihak swasta justru tidak bisa dibiarkan leluasa berekspansi di level pendidikan dasar. Jepang justru lebih membuka keran besar pihak swasta untuk terlibat hanya pada level pendidikan tinggi.

Tapi inilah ironi yang terjadi di negeri ini. Pendidikan dasar seakan menjadi pasar empuk untuk dikapitalisasi. Ia seakan menjelma menjadi ATM masa depan bagi sang pemilik modal. Siapa yang menjadi korban? Tentunya masyarakat luas.

Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam tanpa memiliki posisi tawar tinggi. Sebagian mereka 'terpaksa' memilih sekolah swasta karena sekolah negeri begitu 'mengerikan' secara kualitas buat anak-anak mereka.

Kalau sudah begini, selamat datang kapitalisme pendidikan! Saya, untuk kesekian kalinya, hanya bisa berdoa. Harapan juga tercurah semoga ada kesadaran dari masyarakat kita serta pemerintah untuk bisa menata ulang keterlibatan pihak swasta di jenjang pendidikan dasar di negeri ini.

Jika ingin meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa ini pemerintah harus dapat berperan lebih besar lagi. Utamanya terhadap tata kelola pendidikan dasar, bukan membiarkan pihak swasta saling berlomba mematok biaya tinggi.

Bukankah undang-undang kita mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatan pendidikan berkualitas dengan harga terjangkau. Bukan pendidikan yang hanya menciptakan kelas-kelas sosial dimana mereka yang bisa bayar mahal akan memperoleh pendidikan berkualitas. Buat yang berkantung super pas, silahkan mengecap pendidikan dasar ala kadarnya saja. Oh, inilah ironi dari pendidikan di negeri ini.

Sumber : www.republika.co.id, klik https://goo.gl/2Ys2N2

20 April 2015

Mari Belajar dari Anak SD di Jepang


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Ghafur, ST, M.Ed (Alumni IDEC Hiroshima University-Japan)

Suara riuh anak-anak di pagi hari memancing rasa penasaran saya untuk sekadar melihat apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat sekelompok anak sekolah dasar (SD) Jepang sedang berjalan kaki beriringan. Baju yang dikenakan seragam. Tas sekolah yang digendong terlihat besar, sarat dengan muatan. Belum lagi tambahan botol minuman dan peralatan olahraga.

Rasanya hampir di seluruh Jepang, baik di kota besar seperti Tokyo maupun daerah pedesaan, anak-anak SD berjalan kaki. Mereka berjalan secara berkelompok ketika pergi maupun pulang sekolah. Mereka tak boleh diantar. Tak peduli, jarak rumah ke sekolah itu jauh ataupun anak SD itu berasal dari orang kaya ataupun pejabat.

Selintas, semua itu hanya terlihat biasa. Tapi jika dimaknai, fenomena semacam ini sungguh menarik. Jepang sebagai negara maju dan modern ternyata dalam mendidik generasi muda telah sejak dini mencoba melepaskan diri dari ketergantungan teknologi. Lalu, kenapa mereka melakukan itu? Saya menangkapnya ini salah satu cara membangun karakter.

Pertama, dalam membangun karakter kepemimpinan. Setiap kelompok selalu ada pemimpin yang memegang bendera kuning. Tugasnya mengatur pergerakan dan bertanggung jawab terhadap jumlah anggotanya. Jika satu tidak ada, tugas pemimpin mencari tahu alasan mengapa anggota tersebut tidak hadir. Alasannya harus diketahui dan menjadi laporan kepada sekolah.

Perlu dicatat, membangun karakter kepemimpinan berarti selalu memimpin dan menjadi pemimpin. Tapi ia juga harus ikhlas jika suatu saat harus dipimpin. Di negeri ini, banyak orang yang mau menjadi pemimpin tapi tidak rela untuk dipimpin. Olah karena itu, dalam kelompok yang ditunjukkan oleh anak-anak SD di Jepang itu diperlihatkan proses pergantian pemimpin. Setiap yang tergantikan harus mau mengikuti pemimpin barunya dan secara dini mengajarkan bahwa proses suksesi kepemimpinan bukanlah sesuatu yang dilarang.

Kedua, membangun karakter empati. Setiap orang yang berpapasan, anak-anak SD itu harus proaktif mengucapkan salam: "Ohayo Gozaimasu!" atau "Konnichiwa!" sambil membungkukkan badannya. Kadang mengucapkan: "Summimasen!", memohon permisi meminta jalan.

Tidak dipungkiri bahwa karakter terbangun dan teruji di jalan. Apakah kita rela memberikan jalan kepada orang terlebih dahulu atau tidak peduli sama sekali. Apakah kita bisa bersabar saat lalu lintas padat dan macet lalu tidak tergoda untuk melanggar peraturan. Atau bahkan mengeluarkan kata-kata sumpah serapah yang memicu pertengkaran.

Pada saat saat berjalan secara berkelompok, mereka telah diajarkan tata cara menggunakan jalan dengan benar. Kegiatan ini terus menerus dibentuk hingga menjadi kebiasaan sampai mereka besar.

Ketiga, membangun karakter mandiri dan penuh daya juang tinggi. Setelah luluh lantah oleh Sekutu pada PD II, Jepang membangun negaranya kembali dari nol. Mereka bergerak cepat dengan kemandirian yang tinggi dan tentunya dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Akhirnya mereka dapat mengembalikan lagi kejayaan mereka.

Nilai karakter ini pulalah yang ingin mereka tanamkan. Sejak pendidikan dasar, nilai kemandirian ini ditanamkan melalui kegiatan berjalan kaki sejauh apapun jarak dari rumah ke sekolahnya. Jangankan motor, sepeda pun tidak diperkenankan. Ditambah lagi tas sekolah yang sarat muatan harus mereka bawa sendiri.

Lelah dan capek? Sudah pasti. Tapi mereka dipaksa keadaan harus sampai ke sekolah dan kembali ke rumah dengan selamat. Mereka harus gigih dalam menggapai asa mereka.

Mereka sadar bahwa negara mereka bukanlah negara yang memiliki limpahan kekayaan alam. Hidup di Jepang menyakitkan. Menahan dingin menusuk tulang di musim dingin dan menahan terik yang membakar dan udara panas di musim panas. Karenanya, mereka butuh generasi yang punya jiwa kepemimpinan yang kuat, disiplin, memiliki kemandirian, tidak manja, tahan banting, dan penuh karakter perjuangan.

Unik tapi begitulah cara Jepang membangun karakter generasi penerus dengan berjalan kaki saat pergi ke sekolah. Lantas bagaimana dengan kita?

Sumber : http://www.republika.co.id, klik https://goo.gl/z6SrQp

24 Maret 2015

7 Cara Agar Terbiasa Datang Tepat Waktu

Datang tepat waktu (on time) merupakan salah satu kebiasaan karyawan sukses. Sayangnya, kebiasaan baik ini sulit dimiliki oleh sejumlah karyawan. Mengapa seperti itu? Jawaban yang realistis adalah karena datang terlambat sudah menjadi kebiasaan sehingga butuh waktu untuk mengubahnya.
Jika Anda selama ini memiliki kebiasaan datang terlambat (baik itu masuk kerja, menghadiri rapat, bertemu orang, dan lain-lain), tujuh cara di bawah ini dapat membantu Anda datang tepat waktu.

1. Pergi 10 menit lebih awal
Cara pertama adalah pergi 10 menit lebih awal. Untuk menerapkan cara ini, Anda perlu mengevaluasi waktu pergi Anda terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika Anda terlambat datang masuk kerja pada jam 7 pagi karena Anda pergi dari rumah jam 06:45, maka yang perlu Anda lakukan adalah pergi dari rumah jam 06:30 (10 menit lebih awal dari biasanya).

2. Catat semua jadwal rapat atau pertemuan
Cara kedua adalah dengan mencatat semua jadwal rapat atau pertemuan yang Anda miliki di buku harian atau catatan Anda. Setelah itu, baca buku harian atau catatan itu minimal sekali sehari sehingga membantu Anda mengingat semua jadwal rapat dan pertemuan yang harus Anda hadiri.
Jika Anda tidak memiliki buku catatan, tulis saja jadwal rapat atau pertemuan disticky paper yang bisa ditempelkan di dinding atau komputer Anda. Anda bisa juga menuliskannya di papan tulis yang ada di ruang kerja Anda.

3. Buat reminder
Cara lain adalah dengan membuat pengingat (reminder) di telepon genggam pintar Anda (smartphone) atau laptop kerja Anda. Terkait laptop kerja, ada pengingat jadwal rapat di lokal area network yang mereka miliki. Pengingat ini akan memberi alert bergantung kepada waktu yang ditetapkan oleh si pembuat jadwal rapat. Waktunya bisa 10 menit atau 15 menit dari jadwal rapat.

4. Minta bantuan teman/bawahan untuk mengigatkan
Anda juga bisa bantuan teman Anda untuk mengingatkan jadwal rapat atau pertemuan Anda dengan klien. Jika Anda seorang atasan yang memiliki sekretaris atau asisten, Anda bisa menginstruksikan mereka untuk mengingatkan Anda.

5. Hormati orang lain
Ini adalah pemahaman yang perlu Anda miliki untuk membiasakan diri datang tepat waktu. Tanamkan di benak Anda bahwa datang tepat waktu itu berarti Anda menghormati orang lain, baik itu atasan, bawahan, atau klien baru. Dengan memiliki pemahaman ini, Anda akan bergerak lebih cepat daripada biasanya.

6. Prediksi waktu tempuh
Jika rapat atau pertemuan di luar kantor, prediksi waktu tempuh untuk mencapai tempat rapat tersebut. Jika Anda masih belum tahu karena mungkin tempat rapat itu memang baru Anda kunjungi, cari di Google map lokasinya sehingga Anda bisa memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi tersebut.
Selain itu, Anda juga bisa meminta informasi waktu tempuh kepada orang yang mengundang Anda. Ini lebih baik karena informasinya jauh lebih akurat.

7. Persiapkan semua peralatan yang mendukung
Ada kalanya penyebab terlambat datang adalah tidak siapnya alat-alat pendukung yang Anda perlukan. Sebagai contoh, ketika Anda hendak berangkat kerja, ban mobil atau ban motor Anda kempes. Untuk menghindari masalah ini, cek kondisi kendaraan Anda sesaat setelah Anda bangun. Misalnya, setelah sholat subuh bagi Anda yang muslim.
Dalam hal rapat atau pertemuan, siapkan peralatan yang Anda perlukan (laporan, alat peraga, atau handout materi) sehari sebelumnya. Kebiasaan ini akan memberi Anda waktu yang cukup bila saja ada peralatan yang belum siap.
Datang tepat waktu merupakan kebiasaan baik yang harus dimiliki oleh setiap karyawan (atau setiap orang). Kebiasaan ini akan membantu Anda lebih sukses, misalnya reputasi baik atau mendapatkan klien baru. Jadi, tidak ada salahnya jika Anda menerapkan satu atau lebih dari tujuh cara di atas.
Cara apalagi yang bisa membantu Anda datang tepat waktu?
 Sumber : duniakaryawan.com

11 Maret 2015

Metamorfosa- Kemudahan atau Kekuatan?

Salam Metamorfosa, Salam Perubahan… 
Bagi orang beriman, doa merupakan ritual yang sangat penting artinya. Melalui doa inilah seseorang menghubungkan dirinya dengan Tuhannya, untuk menyampaikan aneka permohonan. Lewat doa ini pula seseorang bisa mendapatkan ketenteraman dan ketenangan hati, saat ia sedang menghadapi segala bentuk pikiran dan perasaan negatif. Apakah itu kegelisahan, keresahan, kebimbangan, kesedihan, maupun kegalauan.

Maka dalam doa tersebut seseorang acapkali meminta kepada Tuhan untuk diberi kemudahan dalam melaksanakan berbagai urusan. Sementara pada kesempatan lainnya, doa dipanjatkan un tuk mendapatkan kekuatan dalam meng hadapi berbagai cobaan dan ujian hidup. Di antara dua model permintaan tersebut, manakah yang se baiknya kita jadikan prioritas dalam doa-doa kita kepada Tuhan: meminta kemudahan atau kekuatan?

Para pembaca yang siap berubah menjadi lebih baik…
Apapun doa yang kita sampaikan kepada Tuhan, pada prinsipnya baik. Namun, dari sisi logika atau akal sehat, doa yang minta diberi kemudahan dengan doa yang minta diberi kekuatan memiliki dampak psikologis yang berbeda pada diri kita. Mari kita renungi bersama.

Doa yang berisi permintaan untuk diberi kemudahan mengandung makna bahwa masalah atau kesulitanlah yang menjadi prioritas untuk diminimalkan oleh Tuhan. Sehingga, kemampuan kita yang ada saat ini bisa mengatasinya. Ini sama saja, meski tidak disadari, membiarkan kemampuan atau kesanggupan kita tidak bertambah, alias begitu-begitu saja dari waktu ke waktu. Maka jangan heran jika orang yang doanya selalu meminta kemudahan, hanya akan diberi oleh- Nya tugas-tugas kecil yang tidak akan mengantarkannya menjadi pribadi yang tumbuh dan besar.

Tentu menjadi berbeda jika doa yang kita haturkan kepada Tuhan berisi permintaan untuk diberi kekuatan. Doa semacam ini mengandung arti bahwa kekuatan atau ketangguhanlah yang menjadi prioritas untuk kita tingkatkan dari waktu ke waktu. Sehingga, masalah atau kesulitan yang meningkat sekalipun, tidak akan menu runkan nyali kita untuk menghadapinya.

Melalui doa semacam itu, terbuka kemungki nan bagi siapa pun untuk menerima amanah atau tanggung jawab yang jauh lebih besar, yang memungkinkan kapasitas dirinya tumbuh dan berkembang menjadi semakin hebat. Maka lihatlah orang-orang di sekeliling anda. Adakah di antara mereka yang tidak sanggup mengelola urusan yang kecil dan sederhana, pada akhirnya dipercaya Tuhan untuk mengelola urusan yang le bih besar dan lebih kompleks? Rasa-rasanya sih jarang banget.

Atas dasar logika tersebut, menjadi lebih baik bila kita lebih sering meminta kekuatan daripada kemudahan. Khususnya bila kita menginginkan hidup kita terus tumbuh dan berkembang. Atau jika kita ingin menjalani peran dan tugas kehidu pan yang lebih besar dalam rangka menebar man faat yang lebih luas.

Bila anda berkesempatan menjadi lebih hebat dengan anugerah kekuatan yang Tuhan percaya kan kepada anda, mengapa anda lebih memilih untuk selalu dimudahkan oleh-Nya? Bukankah itu sebuah kekeliruan yang mesti kita hindari? Keep spirit & change your life. ??

HD Iriyanto www.bangunkarakter.com (Inspirator Metamorphosis; Dosen STMIK AMIKOM Yogyakarta)

Sumber : 
http://bola.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-dunia/11/05/29/koran/news-update/15/03/10/nkzi4915-metamorfosa-kemudahan-atau-kekuatan