Olah Raga, Olah Jiwa

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya

Membaca Sedari Muda

Membaca : Membuka Cakrawala Dunia

Yang Muda Yang Berkarya

Berikan aku 10 Pemuda kan ku guncang dunia

Profesional

Kenali Diri, Kembangkan Diri, Jadilah Profesional

Belajar Sepanjang Hayat

Belajar sepanjang waktu, belajar dimanapun berada

20 Juni 2017

Dunia Digital vs Dunia Nyata




Oleh : Rhenald Kasali

ALAM banyak kesempatan, saya mendengar kuatnya anggapan bahwa dunia maya (digital) berbeda dengan dunia nyata. Dunia digital dianggap sebagai ”alam halus”, yang belum (atau bahkan sulit) disentuh. Kalaupun dipakai, hanya sebatas sebagai alat pendukung. Sedangkan dunia nyata adalah dunia kita sehari-hari.

Bahkan, ada yang beranggapan bahwa itu adalah dunia para milenial, anak-anak mereka. Juga tak dapat dihindari yang berpikir, bisnisnya (core-nya) sama sekali tak perlu bersentuhan dengan dunia digital.

Misalnya saja, ada yang mengatakan, ”Kami ini bisnisnya semen, bukan ritel.” Dan kalau diteruskan lagi ”kami”-nya bisa panjang: kami jual mobil, bukan hiburan; kami pupuk, bukan hotel; kami tekstil, bukan oleh-oleh; dan seterusnya. Seakan-akan dunia maya itu hanya berlaku bagi ritel, hiburan, dan sejenisnya.

Mungkin anggapan semacam itu menguat lantaran sering melihat anak-anak bermain game. Jadi, dunia digital hanya ada dalam game, bukan kehidupan nyata.

Anggapan seperti itu, kalau dibiarkan, tentu bakal menyesatkan dan menyulitkan banyak perusahaan yang sudah bagus. Itu akan membuat kita ”gagal paham”. Ya, gagal memahami perubahan-perubahan besar yang tengah bergulir di sekitar kita.

Kini, sejak manusia melewati tahapan connectivity melalui internet, digital dan dunia nyata menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini buktinya.

Masih ingat dengan seorang perwira TNI yang memecahkan kaca bus di jalan tol Cikunir Mei 2017 lalu? Kasus yang ada di dunia nyata itu mungkin tak akan terungkap kalau tidak ada sebuah akun Facebook yang meng-upload kejadian tersebut.

Menurut akun itu, sang perwira tadi mengendarai mobil di ruas jalan tol yang macet. Mungkin jengkel dengan kemacetan, juga merasa jalannya terhalang bus, perwira tersebut dengan tongkatnya memukul pecah kaca samping bus.

Semula perwira itu berdalih mobilnya diserempet bus. Namun, tak ada bukti soal serempetan tersebut. Akun itu menulis, ”Ngaku spionnya kesenggol sampai lecet, tetapi di rekaman tidak ada lecet sama sekali. Diminta pertanggungjawaban malah kabur.” Unggahan tersebut kemudian ramai dibicarakan netizen.

Puspen TNI merespons terlebih dahulu. Melalui akun Instagram, Puspen TNI meminta maaf kepada PO bus tersebut. Lalu, menyusul sang perwira juga mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dia siap bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bus.

Itu bukti betapa dunia digital kita sudah menyatu dengan dunia nyata.

Mau bukti lainnya?

Masih ingat kasus seorang pegawai perempuan yang bekerja di Mahkamah Agung (MA) yang marah-marah dan mencakar Aiptu Sutisna saat petugas kepolisian itu hendak menilangnya? Sutisna tidak melawan. Dia hanya menghindar. Itu peristiwa yang terjadi di dunia nyata.

Adegan amukan pegawai MA tersebut kemudian muncul di dunia maya. Seorang netizen merekamnya dan meng-upload videonya ke akun Facebook. Kejadian itu pun menjadi viral.

Berkat sikapnya yang tidak melawan, Aiptu Sutisna mendapatkan apresiasi. Bukan hanya dari masyarakat, tapi juga Kepolisian Negara RI (Polri). Sebaliknya, si pegawai MA tadi dimutasi dari jabatannya di eselon IV menjadi staf di PTUN Pekanbaru.

Pengalaman Sandvik
Saya tadi menyinggung soal betapa repotnya kalau gagal paham menyatunya dunia maya dengan dunia nyata sampai berlarut-larut. Sebab, di belahan dunia sana, masyarakatnya –terutama kalangan korporasi– sudah menikmati hasil dari penyatuan dua dunia tersebut.

Salah satu contohnya Sandvik Coromant (SC), perusahaan asal Swedia yang menjadi produsen utama cemented carbide dunia. Cemented carbide adalah material yang biasa dipakai pada mesin pemotong material logam nonbaja dan banyak dipakai industri manufaktur. Bisnis SC sempat terpuruk lantaran hadirnya produk Tiongkok yang lebih murah.

Lalu, apa yang dilakukan SC?

SC lalu melengkapi mesin pemotongnya dengan sensor. Sensor tersebut berfungsi memantau kinerja cemented carbide. Kapan alat itu terlalu stres, sudah aus, dan tiba waktunya untuk diganti. Data dari sensor tersebut kemudian dikirim ke server dan oleh server didistribusikan ke pihak-pihak yang mesti tahu soal itu. Di antaranya general manager, manajer, atau supervisor di pabrik.

Bagi banyak pabrik, informasi semacam itu sangat penting. Jangan sampai pabrik berhenti beroperasi gara-gara mesin pemotong nonlogamnya rusak. Biaya untuk shutdown dan menghidupkan kembali bisa sangat mahal.

Informasi semacam itulah yang kemudian menjadi nilai lebih bagi SC ketimbang produk sejenis dari Tiongkok. Pelanggan pun beralih dari produk buatan Tiongkok ke buatan SC.

Itu contoh kasus di dunia korporasi yang memakai teknologi untuk menggabungkan dunia digital (informasi dari sensor) dengan dunia nyata (pekerjaan di pabrik). Kasus lainnya masih banyak.

Misalnya, ada Rolls-Royce yang memasang sensor di mesin pesawat terbang. Ketika pesawat masih berada di udara, kondisi mesin sudah terpantau. Saat mendarat, kalau ada komponen mesin yang perlu diganti, itu bisa langsung dilakukan tanpa pesawat perlu masuk hanggar. Jadi, pesawat bisa langsung terbang lagi. Itu tentu meningkatkan kinerja operasional pesawat.

Dunia 4.0
Dalam lingkungan masyarakat, para petugas layanan publik bisa memantau sejumlah kejadian dengan adanya CCTV. Ingat dengan pembalap MotoGP Nicky Hayden yang meninggal dunia karena tertabrak mobil? Melalui CCTV, pihak kepolisian mendapati bahwa Nicky Hayden lalai.

Hayden bersepeda sambil mendengarkan musik melalui iPod. Akibatnya, dia tak mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya, termasuk mobil-mobil yang lalu-lalang di perempatan jalan. Salah satu mobil itulah yang kemudian menabrak Hayden.

Belajar dari kejadian tersebut, kita mungkin bisa memprakarsai gerakan no gadget saat melakukan aktivitas di area-area publik. Kini kita sudah memasuki dunia versi 4.0. Dunia maya atau digital dan dunia nyata sudah menyatu. Namun, banyak musibah terjadi gara-gara masyarakat kita masih merasa seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda.

Misalnya terus saja memakai smartphone saat menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor –sesuatu yang banyak kita jumpai di masyarakat kita. Juga terus memakai smartphone saat tengah berjalan di trotoar atau area publik lainnya. Itu fenomena yang ada di mana-mana. Mereka berjalan seenaknya sambil matanya tak henti menatap layar smartphone dan tangannya terus mengetik.

Padahal, sudah banyak video yang menayangkan orang-orang yang tersandung atau terperosok lubang karena terlalu asyik dengan smartphone-nya. Atau menabrak orang lain yang melintas di hadapannya; menabrak tiang atau pintu; bahkan tertabrak sepeda, sepeda motor, hingga mobil lantaran menyeberang jalan secara sembarangan.

Di Jerman, seorang petugas pengatur sinyal dituding bertanggung jawab atas kecelakaan kereta yang mengakibatkan 150 orang mengalami luka-luka dan 11 orang meninggal dunia. Menurut jaksa, sesaat sebelum kecelakaan terjadi, petugas itu asyik bermain game online via ponselnya. Akibatnya, dia menekan tombol yang salah. Informasi yang salah itulah yang diterima dua masinis dari dua kereta berbeda. Dan kecelakaan pun tak terelakkan.

Di dunia 4.0, era di mana semua serba terkoneksi, kita tak mau ada masyarakat yang gagal paham bahwa dunia digital sudah menyatu dengan dunia nyata. Sebab, risikonya bisa sangat fatal. (*)

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/M9fT38

13 Juni 2017

Kegilaan Rusdi Kirana Terobos Vacuum


Oleh DAHLAN ISKAN

TIONGKOK itu ibarat vacuum cleaner. Kita bisa kesedot. Tiongkok tidak bermaksud menyedot pun, negara sekitarnya bisa kesedot sendiri. Ekonominya.

Sekarang Tiongkok lagi kelebihan kapasitas. Barang-barang mereka menjadi murah. Pabrik-pabriknya sudah terlalu banyak. Dan terlalu besar. Pabrik apa pun. Bidang apa pun. Benar-benar kelebihan pabrik. Kebesaran pabrik. Tanpa bermaksud membanjiri negara lain pun, banjir produk Tiongkok terjadi dengan sendirinya. 

Apa yang harus kita perbuat? Marah? Menghancurkan mesin vacuum cleaner itu? Menyumbat slangnya? Agar kita tidak kesedot? 

Rasanya akan sia-sia. Bahkan destruktif. Untuk kedua belah pihak. Terutama untuk kita sendiri. Tidak realistis. Ibarat membuat asap dengan cara membakar diri sendiri. 

Kita harus menyesal. Dulu. Dulu sekali. Sekitar tahun 2005. Kita tidak mau memanfaatkan kebijakan "rukun tetangga" dari Tiongkok. Malaysia-lah, dan terutama Thailand, yang panen raya. Pejabat kita waktu itu tidak tahu bahwa ada kebijakan ini: Tiongkok membuka diri secara khusus untuk menerima produk pertanian dari negara tetangga. Tarif pajaknya khusus. Seperti sayur dan buah tertentu. 

Kebijakan itu disebut early harvest policy. Sayang, kita melewatkannya begitu saja. Justru kita kebanjiran buah dari Tiongkok. 

Kita terlambat. Tapi, kesempatan masih luas. Penduduk Tiongkok terlalu besar: 1,3 miliar. Nafsu makannya terlalu baik: perlu makanan apa saja. Mereka pun mampu membelinya. 

Semua orang kuat punya titik lemahnya sendiri. Tiongkok sekalipun. Ia tidak bisa menghasilkan "buah tropik" atau "sayur tropik". Titik itulah yang harus kita totok dengan kekuatan totok yang telak. Perkebunan buah tropik harus menjadi kekuatan utama kita. Harus jadi senjata totok yang kuat. 

Entah siapa yang akan bisa jadi panglima di sektor itu. BUMN? Yang dulu sudah mulai tanam pisang, manggis, jambu, dan durian secara besar-besaran? Apa kabar perkembangannya? 

Titik lemah lainnya adalah ini: Orang Tiongkok senang bepergian. Seperti kita juga. Berarti turisme. Bisa jadi senjata totok berikutnya. Kita tidak perlu bercocok tanam. Cukup tersenyum-senyum sepanjang tahun. Apa susahnya tersenyum? Ups, jangan-jangan tersenyum lebih sulit daripada bercocok tanam. Sebab, senyum yang diperlukan adalah senyum yang tulus. Dari bibir sampai ke hati. Bukan senyum plastik. 

Panglima di sektor itu sudah ketahuan: swasta. Lion Air. Sudah teruji melakukan terobosan selama hampir satu tahun terakhir. 

Terobosan Lion ini tidak main-main. Sulit dilakukan siapa pun: membuka penerbangan langsung ke jantung-jantung Tiongkok. Dari dan ke Manado. 

Adakah orang gila yang mau membuka penerbangan dari kota seperti Chongqing ke Manado? Selain Rusdi Kirana? Si pemilik Lion? Di mana itu Chongqing? Jangankan letaknya. Bagaimana mengucapkan nama kota itu saja tidak mudah. 

Kota tersebut adalah kota pedalaman yang paling pedalaman. Dulu kota itu bagian dari Provinsi Sichuan. Lebih miskin daripada NTT. Kini Chongqing berdiri sendiri. Sebagai kota besar langsung di bawah pemerintah pusat. Penduduknya lebih dari 52 juta. Hampir dua kali penduduk Jatim. Gedung bertingkatnya melebihi gedung bertingkat di Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan yang dijadikan satu. Kotanya bergunung-gunung. Indah. Dibelah Bengawan Chang Jiang, sungai terpanjang ketiga di dunia. 

Mungkin awalnya penduduk Chongqing juga tidak tahu di mana itu Manado. 

Lion juga buka penerbangan langsung Manado-Wuhan. Kota pedalaman Tiongkok yang lain lagi. Ibu kota Hubei. Provinsi yang berpenduduk sekitar 100 juta. 

Gila. Empat kali seminggu Lion Air menerbangi Manado-Tiongkok. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan kapasitas. Singapura yang dulu dikenal pandai menyedot penumpang dari negara lain. Kini Lion dengan kelebihan kapasitasnya mencoba menyedot penumpang negara lain. 

Tahun lalu saja, selama setengah tahun Lion bisa menyedot 40 ribu penumpang Tiongkok. Dibawa ke Manado. Kota kecil itu sampai terkaget-kaget. Tahun ini, menurut perkiraan Dino Gobel dari North Sulawesi Tourims Board, bisa dua kali lipatnya. Ternyata mereka menyukai Pulau Lihaga yang masih perawan. Bukan Bunaken. 

Saya kagum pada langkah Lion tersebut. Itulah usaha nyata untuk "melawan" Tiongkok secara benar. (*)

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/kdxn5L