4 Juli 2015

Ironi Pendidikan di Negeri Ini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdul Ghafur (staf Kementerian Pendidikan dan Kedudayaan serta alumni Hiroshima University )

Zaman kuliah dulu, saya termasuk mahasiswa yang rajin menjadi pengajar privat. Anak-anak yang saya ajarkan, umumnya berpendidikan SMP. Mereka tersebar di berbagai tempat.

Penghasilan sebagai pengajar privat ini sudah cukup buat saya untuk memperpanjang nafas sampai akhir bulan. Melalui pekerjaan sampingan inilah, saya mendapatkan hasil lumayan. Setidaknya buat saya wara wiri membiayai living cost yang tidak murah.

Manfaat lain dari pekerjaan sampingan tersebut, tersimpan sebuah niat mulia agar saya tidak terlalu sering meminta dana kepada orang tua. Maklum saja, ayah saya hanya seorang guru SD di Jakarta. Pada masa itu, pendapatannya belum setajir seperti guru-guru DKI masa sekarang. Lalu ibu saya, hanya menyandang status sebagai ibu rumah tangga. Dengan menjadi pengajar privat, tentunya saya sudah bisa turut meringankan beban kedua orang tua.

Anak-anak yang saya ajar itu berasal dari sekolah swasta. Jika tak salah mengingat, tak ada dari mereka yang berasal dari sekolah negeri. Ya, mungkin hanya golongan ekonomi mereka saja yang mampu membayar seorang guru privat untuk anak-anaknya. Saya sangat paham itu karena bayaran mendatangkan guru privat tentu tidak murah.

Sehabis mengajar saya selalu menyempatkan diri untuk obrol sana dan sini dengan orang tua anak. Ujungnya, dengan proses bercerita yang mengalir, saya kerap memperoleh informasi seputar bayaran sekolah sang anak. Mendengar jawabannya, saya hanya bisa terhenyak kaget. Senyuman pun terasa getir.

Ternyata bayaran mereka yang baru menginjak level pendidikan dasar saja sudah bisa melebihi bayaran kuliah per semester saya di Universitas Indonesia (UI). Dengan mencoba berbesar hati, saya berusaha bersikap permisif. ''Ah namanya juga swasta, pasti hebohlah bayarannya,'' hanya dalam hati saya bergumam tentang bayaran anak-anak yang saya ajar privat itu.

Sayangnya, pengalaman itu terus berlanjut hingga kini. Kabarnya ada sekola berlevel sekolah dasar itu yang berani mematok biaya pendidikannya hampir setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) buruh yang bekerja di Jakarta! Sungguh, tak terbayang berapa penghasilan orang tua mereka.

Tak heran jika kemudian pendidikan di negeri ini telah menjelma menjadi bisnis yang sungguh menjanjikan. Lihat saja di kanan-kiri lingkungan sekitar kita. Tiba-tiba saja berdiri sebuah bangunan sekolah dengan biaya yang tak murah. Anehnya, semakin mahal biaya yang dipatok pengelola sekolah, orang tua yang mendaftar menjadi semakin mengantre. Saya pun bingung untuk menyebut fenomena semacam ini.

Sedihnya, yang banyak disasar oleh pemodal itu ternyata hanya sampai level pendidikan dasar saja. Asumsi saya karena modal yang dibutuhkan tak terlalu besar dibandingkan berinvestasi untuk pendidikan tinggi.

Dengan berinvestasi di level pendidikan dasar, upaya melakukan break event point tak terlalu lama. Coba pendidikan tinggi, investasinya terlalu besar. Mereka harus menyediakan laboratorium, bayar doktor, akreditasi dan lain sebagainya. Fenomena semacam ini justru terlihat terbalik jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jepang.

Semasa saya berkuliah di negeri Matahari Terbit itu saya melihat pemerintah setempat membuat regulasi yang ketat. Pihak swasta justru tidak bisa dibiarkan leluasa berekspansi di level pendidikan dasar. Jepang justru lebih membuka keran besar pihak swasta untuk terlibat hanya pada level pendidikan tinggi.

Tapi inilah ironi yang terjadi di negeri ini. Pendidikan dasar seakan menjadi pasar empuk untuk dikapitalisasi. Ia seakan menjelma menjadi ATM masa depan bagi sang pemilik modal. Siapa yang menjadi korban? Tentunya masyarakat luas.

Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam tanpa memiliki posisi tawar tinggi. Sebagian mereka 'terpaksa' memilih sekolah swasta karena sekolah negeri begitu 'mengerikan' secara kualitas buat anak-anak mereka.

Kalau sudah begini, selamat datang kapitalisme pendidikan! Saya, untuk kesekian kalinya, hanya bisa berdoa. Harapan juga tercurah semoga ada kesadaran dari masyarakat kita serta pemerintah untuk bisa menata ulang keterlibatan pihak swasta di jenjang pendidikan dasar di negeri ini.

Jika ingin meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa ini pemerintah harus dapat berperan lebih besar lagi. Utamanya terhadap tata kelola pendidikan dasar, bukan membiarkan pihak swasta saling berlomba mematok biaya tinggi.

Bukankah undang-undang kita mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatan pendidikan berkualitas dengan harga terjangkau. Bukan pendidikan yang hanya menciptakan kelas-kelas sosial dimana mereka yang bisa bayar mahal akan memperoleh pendidikan berkualitas. Buat yang berkantung super pas, silahkan mengecap pendidikan dasar ala kadarnya saja. Oh, inilah ironi dari pendidikan di negeri ini.

Sumber : www.republika.co.id, klik https://goo.gl/2Ys2N2

0 komentar:

Posting Komentar