Olah Raga, Olah Jiwa

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya

Membaca Sedari Muda

Membaca : Membuka Cakrawala Dunia

Yang Muda Yang Berkarya

Berikan aku 10 Pemuda kan ku guncang dunia

Profesional

Kenali Diri, Kembangkan Diri, Jadilah Profesional

Belajar Sepanjang Hayat

Belajar sepanjang waktu, belajar dimanapun berada

24 Desember 2017

HEBAT itu?

HEBAT itu?
.
Pelari yang berlari CEPAT
Olahragawan yang sangat KUAT
Insinyur yang bekerja dengan CERMAT
Seniman yang sangat berBAKAT
Artis berparas MEMIKAT
Politikus yang lihai dalam mengatur PENDAPAT.
Pemimpin yang MERAKYAT.
.
Orang HEBAT dimiliki orang yang istiqomah dalam TAAT
Orang HEBAT itu pada pelaku dosa kemudian segera berTAUBAT
.
Orang HEBAT terkadang dimiliki oleh orang miskin melarat, namun tidak memilih mengemis ngemis, lebih memilih menjalani hidup berMARTABAT.
.
Orang HEBAT terkadang dimiliki oleh orang kaya, yang memiliki harta melimpah dan dibelanjakan untuk hal yang berMANFAAT.
.
Dan setiap kita memiliki potensi untuk menjadi HEBAT, bermartabat untuk diri sendiri atau kaya bermanfaat kepada orang lain.
.
Siap jadi orang HEBAT?
Mulai hari ini, bisikan pada diri kita 3 hal :
1. Aku adalah orang hebat,
2. Hidupku senantiasa bermartabat,
3. Hidup berlimpah kaya manfaat,
.
#SalamHangat
#SalamSemangat
#SalamHebat

Purwokerto, 24/12/2017

21 Desember 2017

BERSIAP

Hari ini dan pekan selanjutnya adalah perjalanan penuh petualangan, penuh tantangan.
.
Siapkan dirimu menuju kemenangan di masa yang akan datang.
.
Bersegera dan lengkapi perbendaharaan itu, bekal yang tidak akan sia-sia.
.
Jika engkau bisa lalui dengan kemudahan, bergembira dan bersyukurlah.
.
Jika engkau lalui dengan sedikit hambatan dan engkau bersedih, bersedihlah secukupnya saja.
.
Tetaplah optimis dan penuh harapan, jalani penuh dengan semangat, engkau akan meraih sukses sepanjang masa.
.

#SalamHangat
#SalamSemangat
#SalamHebat

Purwokerto, 21/12/2017

11 Agustus 2017

Nyonya Meneer dan Fenomena Zombie Company


Oleh : Rhenald Kasali

MERINDING kita mendengar kabar bahwa perusahaan legendaris Nyonya Meneer dipailitkan kreditornya minggu lalu. Dengan begitu, pengelolaan pabriknya kini berada di tangan kurator untuk membayar hutang terhadap 35 orang kreditornya.

Kita merinding karena perusahaan ini banyak jasanya bagi anak-anak kita yang masa kecilnya telah dihangatkan Minyak Telon produksi Nyonya Meneer. Belum lagi jamu Habis Melahirkan yang banyak digemari kaum ibu dan lain-lainnya.

Dengan menarik nafas panjang, saya sebenarnya tak enak hati menjelaskan fenomena yang sedang menjadi gejala global ini. Namun karena banyak yang menanyakannya, baiklah saya jelaskan. Semoga keluarga alm. Nyonya Meneer tak keberatan dan diberi ketabahan dalam melewati masa-masa sulit mempertahankan legacy bisnis ini. Dan kita doakan semoga bisa kembali melanjutkan usahanya kembali cemerlang.

Baiklah, kalau benar bahwa perusahaan sudah lama tak mampu memenuhi kewajibannya membayar hutang, maka bisa jadi ini sebenarnya fenomena Zombie Company. Sekali lagi kalau berita-berita yang kita baca itu benar adanya. Saya sendiri berharap tidak demikian tentunya.

Namun ini perlu diwaspadai negara, sebab setelah pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dunia sedang dikuasai perusahaan Zombie dan dibanjiri zombie product, termasuk di sini. Kalau ini dibiarkan maka ia bisa menghantui banyak kehidupan usaha seperti "rasa takut" yang sedang beredar yang seakan-akan daya beli benar-benar hancur.

Untuk jelasnya saya ajak anda mengingat-ingat kembali zombie dalam film-film science fiction yang kadang horor kadang jenaka. 

Karena film yang mengulas tentang zombie cukup banyak (antara lain Lincoln vs Zombie), maka ia menjadi begitu populer. Singkat cerita zombie adalah mayat berjalan. Ia sebenarnya sudah mati, tak ada lagi sumber darahnya, tetapi karena satu dan lain hal tidak dikubur. Anda mungkin masih ingat Merpati Airlines? Layanan pesawatnya sudah tak anda lihat lagi bukan? Tapi dia masih ada, belum dikubur. 

Hidup dari Utang
Zombie tak ada lagi sumber darahnya lagi, juga tak berjiwa. Ruh itu dalam bisnis adalah sumber inovasi. Dulu sewaktu alm Nyonya Meneer masih hidup perusahaan ini aktif mengeluarkan produk baru. Ini sama persis dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengandalkan keahlian foundernya. 

Biasanya, begitu founder wafat kalau tak ada penerus yang punya passion dalam industri, inovasi ikut pudar.

Syukur kalau saat founder masih ada, kendati sudah tak aktif lagi, inovasi masih bisa dikembangkan. Mustika Ratu kendati bu Moeryati sudah tak aktif masih mengeluarkan minuman kolangkaling, Kalbe masih mengeluarkan Hydrococo, dan seterusnya. Itu yang bagus. Inovatif dan berhasil.

Setelah Nyonya Meneer wafat (1978) kita tahu terjadi keributan diantara kelima ahli warisnya dan cucu almarhumah. Keributan itu baru berakhir setelah dua pemegang saham memutuskan keluar dan mendirikan Jamu Dua Putri Dewi di Surabaya. Saya sempat menemui keduanya di Surabaya pada tahun 1986. Mereka mengklaim sebagai pewaris keahlian meramu jamu yang dilatih langsung oleh ibunda.

Bila itu benar maka sejak saat itu "ruh" mencipta yang amat dibutuhkan perusahaan pun bisa pudar. Tapi ternyata Jamu Dua Putri Dewi tak mampu berkembang menjadi besar. Bahkan tahun lalu ia diakuisisi oleh Kino dengan nilai yg tak besar, hanya Rp 29 miliar. Tapi ia mempunyai 30 resep jamu yang masih bisa dikembangkan. Artinya masih mencipta, walau kita tak tahu benar apakah itu inovatif atau tidak.

Nah kalau berhasil maka inovasi itu bisa menghasilkan "darah" (cashflow) yang menggerakkan seluruh organ perusahaan. 

Nah perusahaan yang bergerak tanpa “ruh” menjadi tidak inovatif, menjadi rutinitas. Tak ada ada hal-hal baru lagi yang menggairahkan semua pegawai. 

Perusahaan tanpa ruh adalah ibarat Perguruan Tinggi Negeri yang dipimpin oleh Rektor yang maaf, numpang duduk di jabatan tertingginya. Ia hanya asyik memimpin seremonial, tak ada sesuatu yang baru dari kepemimpinannya. Ia hanya menjalankan SOP kementrian, tak membesarkan "kue" yang dipercayakan kepadanya.

Selain ada di satu-dua PTN, fenomena ini juga ada di perusahaan pelat merah, anak-anak perusahaan pelat merah atau perusda yang gagal meraih pemimpin transformasi. Tetapi kini juga banyak ditemui di sektor swasta. 

Lama-lama bangunannya menjadi kusam, pegawainya semakin tua dan kurang sentuhan, orang muda tak lagi ditemui, sistem keuangan masih jadul, IT sulit diimplementasikan, pabrik kurang diperbaharui, jaringan distribusi ya begitu-begitu saja, lalu sales makin susah dinaikkan.

Jadi tak ada lagi perjuangan membangun hal-hal baru. Semuanya hanya meneruskan yang sudah ada saja. Bahkan yang sudah kusam, tak laku, tak relevan lagi terus dipelihara, masih itu-itu saja yang diperdagangkan.

Zombie company akhirnya hidup dari hutang atau menjual aset-aset yang ada secara bertahap (tidak revolusioner). Hanya supaya bisa bergerak. Bahkan dibiayai dengan bad debt atau cek kosong.

Siapa Mereka?

Adakah diantara zombie itu yang baik?

Tidak ada! Zombie yang baik itu harusnya sudah dikubur. Jangan dibiarkan bergentayangan. Karena mereka akan menyebarkan rasa takut dan kesulitan bagi yang hidup dan masih punya masa depan.

Yang saya khawatirkan, di Indonesia ini fenomena zombie semakin banyak. Sebab bagi sebagian orang menutup perusahaan itu sungguh memalukan. Apalagi dinyatakan pailit. Direktur-direktur dan pemegang sahamnya bisa masuk dalam daftar hitam perbankan. 

Ia eksis karena dipelihara orang-orang tertentu yang bisa menikmati aset-asetnya yang tak terpakai. Ruang kerja, kartu nama, fasilitas gudang, tanah, kendaraan, dan bisnis-bisnis turunannya. Masih ada yang bisa dipakai untuk kegiatan perorangan.

Di Jepang, menurut Bloomberg fenomena perusahaan zombie mulai menyeruak pada 1990-an saat industri Jepang mulai dikalahkan Korea dan Tiongkok. Mereka bertahan hidup—meski tak mampu membayar kreditnya—berkat sikap lunak pemerintah dan kreditor yang khawatir kalau dipailitkan akan berdampak buruk terhadap laporan keuangan kreditor. 

Alhasil, sampai Maret 2017 lalu, memang tak satu pun dari sekitar 4.000 perusahaan publik di Jepang yang dipailitkan. Padahal, banyak di antara mereka yang bisnisnya sudah terdisrupsi.

Contohnya Toshiba, Sharp, atau Sanyo. Sharp selama bertahun-tahun nyaris bangkrut sampai diambil alih oleh Foxconn dari Taiwan. Bisnis Sanyo pada 2009 diambil alih Panasonic. Sedangkan Toshiba tak lagi terdengar geliat inovasinya setelah kejayaannya dalam produksi laptop. 

Kita jangan silau dengan perekonomian Korea Selatan dan Tiongkok. Industri perkapalan Korea kini terpukul akibat menurunnya perdagangan global. Maret silam bank-bank pemerintah di sana memberikan pinjaman USD 2,6 miliar ke Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co. dan mengkonversi utangnya dengan saham. Padahal, dua tahun kemudian Daewoo Shipbuilding, mesti melunasi utang jangka pendeknya yang mencapai USD 4 miliar!

Mengutip data dari Bank of Korea dan Financial Supervisory Service, Financial Times 25 Mei 2017 menulis, ada lebih dari 3.278 perusahaan zombie di Korea Selatan. Sebanyak 232 di antaranya adalah perusahaan publik. Angka ini naik 17% ketimbang tahun 2012. 

Padahal, perusahaan-perusahaan zombie itu diperkirakan mempekerjakan sekitar 100.000 karyawan, setara dengan 4,5 persen PDB negara itu.

Saya masih bisa memperluas kolom ini dengan mengingatkan para regulator bahwa dewasa ini dunia tengah dikepung produk-produk zombie yang dihasilkan perusahaan yang nyaris mati. Itu amat mengganggu beberapa sektor usaha kita yang bisa menjadi lesu. Tapi lain kali saja.

Kita kembali saja ke Nyonya Meneer dan nasib kita dalam memimpin perusahaan. Begini, sebelum berubah menjadi zombie company, biasanya perusahaan larut dulu menjadi lazy company. Ya malas.

Saat uangnya banyak, mereka berfoya-foya, uangnya cuma ditabung, inovasi tidak ada yang baru, riset juga tidak ada. Pokoknya tak ada tabungan untuk bertahan di hari esok. Yang ada hanya warisan masa lalu. Padahal gaya hidup dan masalah yang dihadapi konsumen berubah terus. 

Seperti yang saya gambarkan dalam buku saya yang terbit tahun ini, Disruption, melanda semua perusahaan kita apapun sektor usahanya. Kalau anda berada di perusahaan besar mudah membaca dashboardnya: EBITDA margin anda masih besar, tapi DERnya kecil sekali. Begitulah salah satu cara membaca gejala lazy company.

Tapi sekarang itu meramalkan kematian perusahaan jauh lebih mudah dari melamalkan keherhasilannya. Maka itu hindarilah perangkap lazy company sekarang juga dengan menabung masa depan melalui inovasi dan orang-orang muda yang dinamis dan mau bergerak. Semoga saja Nyonya Meneer bukan fenomena yang saya sebutkan di atas. Saya mendoakan ia bisa selamat dan panjang umur meski capek juga ya berdiri sejak 1919? (*)

Sumber : www.jawapos.com klik https://goo.gl/vkZnHm

20 Juni 2017

Dunia Digital vs Dunia Nyata




Oleh : Rhenald Kasali

ALAM banyak kesempatan, saya mendengar kuatnya anggapan bahwa dunia maya (digital) berbeda dengan dunia nyata. Dunia digital dianggap sebagai ”alam halus”, yang belum (atau bahkan sulit) disentuh. Kalaupun dipakai, hanya sebatas sebagai alat pendukung. Sedangkan dunia nyata adalah dunia kita sehari-hari.

Bahkan, ada yang beranggapan bahwa itu adalah dunia para milenial, anak-anak mereka. Juga tak dapat dihindari yang berpikir, bisnisnya (core-nya) sama sekali tak perlu bersentuhan dengan dunia digital.

Misalnya saja, ada yang mengatakan, ”Kami ini bisnisnya semen, bukan ritel.” Dan kalau diteruskan lagi ”kami”-nya bisa panjang: kami jual mobil, bukan hiburan; kami pupuk, bukan hotel; kami tekstil, bukan oleh-oleh; dan seterusnya. Seakan-akan dunia maya itu hanya berlaku bagi ritel, hiburan, dan sejenisnya.

Mungkin anggapan semacam itu menguat lantaran sering melihat anak-anak bermain game. Jadi, dunia digital hanya ada dalam game, bukan kehidupan nyata.

Anggapan seperti itu, kalau dibiarkan, tentu bakal menyesatkan dan menyulitkan banyak perusahaan yang sudah bagus. Itu akan membuat kita ”gagal paham”. Ya, gagal memahami perubahan-perubahan besar yang tengah bergulir di sekitar kita.

Kini, sejak manusia melewati tahapan connectivity melalui internet, digital dan dunia nyata menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini buktinya.

Masih ingat dengan seorang perwira TNI yang memecahkan kaca bus di jalan tol Cikunir Mei 2017 lalu? Kasus yang ada di dunia nyata itu mungkin tak akan terungkap kalau tidak ada sebuah akun Facebook yang meng-upload kejadian tersebut.

Menurut akun itu, sang perwira tadi mengendarai mobil di ruas jalan tol yang macet. Mungkin jengkel dengan kemacetan, juga merasa jalannya terhalang bus, perwira tersebut dengan tongkatnya memukul pecah kaca samping bus.

Semula perwira itu berdalih mobilnya diserempet bus. Namun, tak ada bukti soal serempetan tersebut. Akun itu menulis, ”Ngaku spionnya kesenggol sampai lecet, tetapi di rekaman tidak ada lecet sama sekali. Diminta pertanggungjawaban malah kabur.” Unggahan tersebut kemudian ramai dibicarakan netizen.

Puspen TNI merespons terlebih dahulu. Melalui akun Instagram, Puspen TNI meminta maaf kepada PO bus tersebut. Lalu, menyusul sang perwira juga mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dia siap bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bus.

Itu bukti betapa dunia digital kita sudah menyatu dengan dunia nyata.

Mau bukti lainnya?

Masih ingat kasus seorang pegawai perempuan yang bekerja di Mahkamah Agung (MA) yang marah-marah dan mencakar Aiptu Sutisna saat petugas kepolisian itu hendak menilangnya? Sutisna tidak melawan. Dia hanya menghindar. Itu peristiwa yang terjadi di dunia nyata.

Adegan amukan pegawai MA tersebut kemudian muncul di dunia maya. Seorang netizen merekamnya dan meng-upload videonya ke akun Facebook. Kejadian itu pun menjadi viral.

Berkat sikapnya yang tidak melawan, Aiptu Sutisna mendapatkan apresiasi. Bukan hanya dari masyarakat, tapi juga Kepolisian Negara RI (Polri). Sebaliknya, si pegawai MA tadi dimutasi dari jabatannya di eselon IV menjadi staf di PTUN Pekanbaru.

Pengalaman Sandvik
Saya tadi menyinggung soal betapa repotnya kalau gagal paham menyatunya dunia maya dengan dunia nyata sampai berlarut-larut. Sebab, di belahan dunia sana, masyarakatnya –terutama kalangan korporasi– sudah menikmati hasil dari penyatuan dua dunia tersebut.

Salah satu contohnya Sandvik Coromant (SC), perusahaan asal Swedia yang menjadi produsen utama cemented carbide dunia. Cemented carbide adalah material yang biasa dipakai pada mesin pemotong material logam nonbaja dan banyak dipakai industri manufaktur. Bisnis SC sempat terpuruk lantaran hadirnya produk Tiongkok yang lebih murah.

Lalu, apa yang dilakukan SC?

SC lalu melengkapi mesin pemotongnya dengan sensor. Sensor tersebut berfungsi memantau kinerja cemented carbide. Kapan alat itu terlalu stres, sudah aus, dan tiba waktunya untuk diganti. Data dari sensor tersebut kemudian dikirim ke server dan oleh server didistribusikan ke pihak-pihak yang mesti tahu soal itu. Di antaranya general manager, manajer, atau supervisor di pabrik.

Bagi banyak pabrik, informasi semacam itu sangat penting. Jangan sampai pabrik berhenti beroperasi gara-gara mesin pemotong nonlogamnya rusak. Biaya untuk shutdown dan menghidupkan kembali bisa sangat mahal.

Informasi semacam itulah yang kemudian menjadi nilai lebih bagi SC ketimbang produk sejenis dari Tiongkok. Pelanggan pun beralih dari produk buatan Tiongkok ke buatan SC.

Itu contoh kasus di dunia korporasi yang memakai teknologi untuk menggabungkan dunia digital (informasi dari sensor) dengan dunia nyata (pekerjaan di pabrik). Kasus lainnya masih banyak.

Misalnya, ada Rolls-Royce yang memasang sensor di mesin pesawat terbang. Ketika pesawat masih berada di udara, kondisi mesin sudah terpantau. Saat mendarat, kalau ada komponen mesin yang perlu diganti, itu bisa langsung dilakukan tanpa pesawat perlu masuk hanggar. Jadi, pesawat bisa langsung terbang lagi. Itu tentu meningkatkan kinerja operasional pesawat.

Dunia 4.0
Dalam lingkungan masyarakat, para petugas layanan publik bisa memantau sejumlah kejadian dengan adanya CCTV. Ingat dengan pembalap MotoGP Nicky Hayden yang meninggal dunia karena tertabrak mobil? Melalui CCTV, pihak kepolisian mendapati bahwa Nicky Hayden lalai.

Hayden bersepeda sambil mendengarkan musik melalui iPod. Akibatnya, dia tak mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya, termasuk mobil-mobil yang lalu-lalang di perempatan jalan. Salah satu mobil itulah yang kemudian menabrak Hayden.

Belajar dari kejadian tersebut, kita mungkin bisa memprakarsai gerakan no gadget saat melakukan aktivitas di area-area publik. Kini kita sudah memasuki dunia versi 4.0. Dunia maya atau digital dan dunia nyata sudah menyatu. Namun, banyak musibah terjadi gara-gara masyarakat kita masih merasa seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda.

Misalnya terus saja memakai smartphone saat menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor –sesuatu yang banyak kita jumpai di masyarakat kita. Juga terus memakai smartphone saat tengah berjalan di trotoar atau area publik lainnya. Itu fenomena yang ada di mana-mana. Mereka berjalan seenaknya sambil matanya tak henti menatap layar smartphone dan tangannya terus mengetik.

Padahal, sudah banyak video yang menayangkan orang-orang yang tersandung atau terperosok lubang karena terlalu asyik dengan smartphone-nya. Atau menabrak orang lain yang melintas di hadapannya; menabrak tiang atau pintu; bahkan tertabrak sepeda, sepeda motor, hingga mobil lantaran menyeberang jalan secara sembarangan.

Di Jerman, seorang petugas pengatur sinyal dituding bertanggung jawab atas kecelakaan kereta yang mengakibatkan 150 orang mengalami luka-luka dan 11 orang meninggal dunia. Menurut jaksa, sesaat sebelum kecelakaan terjadi, petugas itu asyik bermain game online via ponselnya. Akibatnya, dia menekan tombol yang salah. Informasi yang salah itulah yang diterima dua masinis dari dua kereta berbeda. Dan kecelakaan pun tak terelakkan.

Di dunia 4.0, era di mana semua serba terkoneksi, kita tak mau ada masyarakat yang gagal paham bahwa dunia digital sudah menyatu dengan dunia nyata. Sebab, risikonya bisa sangat fatal. (*)

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/M9fT38

13 Juni 2017

Kegilaan Rusdi Kirana Terobos Vacuum


Oleh DAHLAN ISKAN

TIONGKOK itu ibarat vacuum cleaner. Kita bisa kesedot. Tiongkok tidak bermaksud menyedot pun, negara sekitarnya bisa kesedot sendiri. Ekonominya.

Sekarang Tiongkok lagi kelebihan kapasitas. Barang-barang mereka menjadi murah. Pabrik-pabriknya sudah terlalu banyak. Dan terlalu besar. Pabrik apa pun. Bidang apa pun. Benar-benar kelebihan pabrik. Kebesaran pabrik. Tanpa bermaksud membanjiri negara lain pun, banjir produk Tiongkok terjadi dengan sendirinya. 

Apa yang harus kita perbuat? Marah? Menghancurkan mesin vacuum cleaner itu? Menyumbat slangnya? Agar kita tidak kesedot? 

Rasanya akan sia-sia. Bahkan destruktif. Untuk kedua belah pihak. Terutama untuk kita sendiri. Tidak realistis. Ibarat membuat asap dengan cara membakar diri sendiri. 

Kita harus menyesal. Dulu. Dulu sekali. Sekitar tahun 2005. Kita tidak mau memanfaatkan kebijakan "rukun tetangga" dari Tiongkok. Malaysia-lah, dan terutama Thailand, yang panen raya. Pejabat kita waktu itu tidak tahu bahwa ada kebijakan ini: Tiongkok membuka diri secara khusus untuk menerima produk pertanian dari negara tetangga. Tarif pajaknya khusus. Seperti sayur dan buah tertentu. 

Kebijakan itu disebut early harvest policy. Sayang, kita melewatkannya begitu saja. Justru kita kebanjiran buah dari Tiongkok. 

Kita terlambat. Tapi, kesempatan masih luas. Penduduk Tiongkok terlalu besar: 1,3 miliar. Nafsu makannya terlalu baik: perlu makanan apa saja. Mereka pun mampu membelinya. 

Semua orang kuat punya titik lemahnya sendiri. Tiongkok sekalipun. Ia tidak bisa menghasilkan "buah tropik" atau "sayur tropik". Titik itulah yang harus kita totok dengan kekuatan totok yang telak. Perkebunan buah tropik harus menjadi kekuatan utama kita. Harus jadi senjata totok yang kuat. 

Entah siapa yang akan bisa jadi panglima di sektor itu. BUMN? Yang dulu sudah mulai tanam pisang, manggis, jambu, dan durian secara besar-besaran? Apa kabar perkembangannya? 

Titik lemah lainnya adalah ini: Orang Tiongkok senang bepergian. Seperti kita juga. Berarti turisme. Bisa jadi senjata totok berikutnya. Kita tidak perlu bercocok tanam. Cukup tersenyum-senyum sepanjang tahun. Apa susahnya tersenyum? Ups, jangan-jangan tersenyum lebih sulit daripada bercocok tanam. Sebab, senyum yang diperlukan adalah senyum yang tulus. Dari bibir sampai ke hati. Bukan senyum plastik. 

Panglima di sektor itu sudah ketahuan: swasta. Lion Air. Sudah teruji melakukan terobosan selama hampir satu tahun terakhir. 

Terobosan Lion ini tidak main-main. Sulit dilakukan siapa pun: membuka penerbangan langsung ke jantung-jantung Tiongkok. Dari dan ke Manado. 

Adakah orang gila yang mau membuka penerbangan dari kota seperti Chongqing ke Manado? Selain Rusdi Kirana? Si pemilik Lion? Di mana itu Chongqing? Jangankan letaknya. Bagaimana mengucapkan nama kota itu saja tidak mudah. 

Kota tersebut adalah kota pedalaman yang paling pedalaman. Dulu kota itu bagian dari Provinsi Sichuan. Lebih miskin daripada NTT. Kini Chongqing berdiri sendiri. Sebagai kota besar langsung di bawah pemerintah pusat. Penduduknya lebih dari 52 juta. Hampir dua kali penduduk Jatim. Gedung bertingkatnya melebihi gedung bertingkat di Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan yang dijadikan satu. Kotanya bergunung-gunung. Indah. Dibelah Bengawan Chang Jiang, sungai terpanjang ketiga di dunia. 

Mungkin awalnya penduduk Chongqing juga tidak tahu di mana itu Manado. 

Lion juga buka penerbangan langsung Manado-Wuhan. Kota pedalaman Tiongkok yang lain lagi. Ibu kota Hubei. Provinsi yang berpenduduk sekitar 100 juta. 

Gila. Empat kali seminggu Lion Air menerbangi Manado-Tiongkok. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan kapasitas. Singapura yang dulu dikenal pandai menyedot penumpang dari negara lain. Kini Lion dengan kelebihan kapasitasnya mencoba menyedot penumpang negara lain. 

Tahun lalu saja, selama setengah tahun Lion bisa menyedot 40 ribu penumpang Tiongkok. Dibawa ke Manado. Kota kecil itu sampai terkaget-kaget. Tahun ini, menurut perkiraan Dino Gobel dari North Sulawesi Tourims Board, bisa dua kali lipatnya. Ternyata mereka menyukai Pulau Lihaga yang masih perawan. Bukan Bunaken. 

Saya kagum pada langkah Lion tersebut. Itulah usaha nyata untuk "melawan" Tiongkok secara benar. (*)

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/kdxn5L

17 Mei 2017

MILLENNIALS dan DISRUPTION


Oleh : Rhenald Kasali

Belakangan ini banyak perusahaan atau organisasi yang mulai menaruh perhatian terhadap generasi millennials. Siapa mereka dan mengapa banyak perusahaan sontak peduli dengan keberadaannya?

Anda bisa dengan mudah mencari definisi dan usianya. Mereka yang disebut generasi millennials biasanya lahir antara tahun 1985–1994. Bahkan, beberapa definisi menyebut batasnya sampai 2004. Silakan saja.

Generasi ini sangat terkoneksi dengan internet dan media sosial. Kurang suka dengan informasi yang bersifat satu arah dan percaya dengan iklan. Mereka lebih percaya pada pengalaman atau review dari teman-temannya. Namun sangat mengedepankan happiness dalam bekerja, gemar traveling lintas negara, dan gadget mindset.

Perusahaan yang masih mendefinisikan urusan manusianya dengan konsep human resource (HR) bakal kewalahan menghadapi generasi millennials. Sebaliknya, perusahaan yang memperlakukan karyawannya sebagai human capital akan menganggap generasi millennials sebagai aset dan penentu masa depan.

Maka, mereka harus dirawat dan diberi kebebasan berkreasi. Generasi ini tak suka kompetisi. Sukanya kolaborasi. Lalu, yang membuat banyak perusahaan takut adalah generasi ini bisa dengan enaknya bertanya, ”Dalam lima atau enam tahun lagi, apa posisi saya dan berapa gajinya?”

Sementara karyawan-karyawan lama begitu takut mengajukan pertanyaan semacam itu. Anda, saya kira, bisa dengan mudah melengkapi sebagian ciri yang sudah saya lontarkan tadi. Referensinya ada di mana-mana.

Memukul Bisnis Konvensional
Namun, saya kira yang jauh lebih penting dari ciri-ciri biologis atau stereotipe lainnya adalah generasi ini mulai diakui keberadaannya karena disruption yang mereka lakukan dan dampaknya terhadap dunia bisnis. Baiklah, supaya kita mempunyai pemahaman yang sama, saya definisikan dulu arti disruption ini.

Sederhananya begini, disruption adalah perubahan untuk menghadirkan masa depan ke masa kini. Perubahan semacam itu biasanya mempunyai sekurang-kurangnya tiga ciri. Pertama, produk atau jasa yang dihasilkan perubahan ini harus lebih baik daripada produk/jasa sebelumnya. Anda boleh memberikan catatan bahwa pengertian ”lebih baik” ini bisa relatif, tetapi bisa juga absolut.

Kedua, harga dari produk/jasa hasil disruption ini harus lebih murah ketimbang produk/jasa sebelumnya. Kalau harganya lebih mahal, untuk apa mereka melakukan disrupsi? Ketiga, produk/jasa yang dihasilkan proses disrupsi juga harus lebih mudah diakses atau didapat para penggunanya. Bukan sebaliknya, malah lebih susah dijangkau.

Itulah tiga ciri dari proses disrupsi. Mengapa hasil karya generasi millennials tersebut menjadi begitu ditakuti para pengelola bisnis konvensional atau incumbent? Sebab, keberadaan produk/jasa buatan generasi millennials bakal memangkas bisnis-bisnis yang dikelola perusahaan-perusahaan konvensional seperti yang dialami industri layanan taksi atau perhotelan.

Efek Bola Salju
Ke depan, proses disrupsi tak akan berhenti sampai di situ. Saya dengar banyak pengelola TV swasta yang mulai cemas karena generasi millennials ini tak lagi menonton TV. Mereka lebih suka streaming atau menyaksikan tayangan-tayangan di YouTube. Mereka sebal dengan acara TV yang ”satu arah” dan tidak memberikan kesempatan bagi para millennials untuk berinteraksi atau memilih program.

Apa jadinya kalau acara-acara TV yang mereka tayangkan lebih banyak ditonton asisten rumah tangga, bukan oleh majikan, dan terutama anak-anaknya? Saya kira banyak pengiklan yang bakal mempertimbangkan lagi beriklan di media televisi.

Di bisnis perbankan, kehadiran perusahaan-perusahaan financial technology (fintech) yang digagas generasi millennials ini mulai mengancam banyak bank. Begitu pula di bisnis ritel. Saat ini bisnis online store terus meningkat dan disukai anak-anak muda, yang notabene merupakan pasar masa depan. Lebih jauh lagi, para disruptor itu dikelola kaum muda, the millennials. Dalam industri pariwisata, millennials travelers terus bertambah jumlahnya. Mereka lebih suka dilayani jasa-jasa perjalanan wisata yang berbasis aplikasi, bukan konvensional.

Itulah disruption yang terus terjadi di depan mata kita. Perubahan yang dipicu generasi millennials tersebut belum akan berhenti.

Mereka memang miskin pengalaman, tetapi tak punya rasa takut untuk menjelajahi masa depan yang unclear, unpredictable, dan uncertain.

Itu berbeda dengan generasi di atasnya yang kaya pengalaman, tapi lebih senang menjelajah rutin dan segala yang sudah klir dan certain.

Ia ibarat bola salju, masih akan terus bergulir dan kian lama kian besar. Kalau Anda menunggu sampai kapan atau menganggap perubahan seperti itu akan ada batasnya, salah besar. Sebab, perubahan semacam itu, kalau sudah bergulir, batasnya adalah langit alias tanpa batas. (*)

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/13xi3B

21 April 2017

Dahlan dan Musuh Besarnya


Oleh : Rhenald Kasali

Di media ini saya pernah menulis kolom tentang para pemimpin yang “gila”. Misalnya, ada Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang saya sebut “Gila Taman”. Apa jadinya Kota Surabaya yang panas tanpa taman-taman kota yang tertata apik? Membosankan!

Lalu, ada Jusuf SK, mantan Walikota Tarakan, Kalimantan Timur, yang saya sebut “Gila Lampu dan Trotoar”. Selama memimpin Tarakan, Jusuf banyak membangun trotoar yang dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan jalan. Alhasil, pada malam hari Tarakan menjadi terang benderang. Jusuf ingin Tarakan menjadi seperti Singapura.

Ada Fadel Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo yang saya sebut “Gila Jagung”. Fadel, dengan visinya, menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai lumbung dan sekaligus eksportir jagung terbesar di Indonesia.

Semasa masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo suka sekali blusukan. Maka, saya menyebutnya “Gila Blusukan”. Setelah menjadi Presiden ke-7 RI pun Jokowi belum sepenuhnya meninggalkan kebiasaannya untuk blusukan, meski tak sesering dulu semasa dia masih menjadi gubernur.

Negara kita memerlukan pemimpin yang “gila” seperti mereka. Bukan hanya pada level walikota/bupati atau gubernur, tetapi bahkan lebih ke atas lagi. Misalnya, setingkat menteri.

Bicara soal ini, saya terkenang dengan seorang menteri. Namanya Dahlan Iskan. Dia menjabat sebagai Menteri BUMN dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II di bawah Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semasa menjabat, saya menyebut Dahlan sebagai menteri yang “Gila Kerja”.

Sebutan ini bukan semata-mata karena Dahlan memang suka sekali bekerja. Memang Dahlan kerap sampai lupa waktu kalau sudah bekerja, sehingga kita bisa menyebutnya gila kerja. Slogan ini kelak diadopsi oleh presiden Jokowi: kerja, kerja, kerja! 

Namun, lebih dari itu gaya dan cara kerja Dahlan yang serba cepat kerap membuat bawahannya pontang-panting. Persis seperti orang gila.

Mencari Terobosan
Sebagai pengusaha, cara kerja Dahlan kerap dianggap melompat-lompat tergantung kebutuhan karena terjadi sumbatan-sumbatan pembangunan. Belum selesai urusan yang satu, dia sudah dipaksa pindah ke urusan yang lain. Seperti pengusaha lainnya, mereka butuh manajer yang handal. Di birokrasi, manajer amat langka, yang ada adalah birokrat yang sayangnya amat lamban. 

Orang seperti Pak Dahlan, dalam ilmu manajemen kita sebut sebagai penyandang helicopter view. Mereka tak perlu masuk sampai ke urusan yang terlalu teknis dan detail. Itu biar diurus oleh para eksekutifnya.

Para pengusaha, kalau ada urusan yang macet, mereka suka mencari terobosan. Dahlan juga begitu. Misalnya, sebagai Menteri BUMN, dia melihat jalur komunikasi sesama CEO perusahaan plat merah ternyata macet. Mereka tak saling kenal satu sama lain. Kalau sudah begini bagaimana BUMN mau bersinergi.

Guna menerobos jalur yang macet ini Dahlan mengundang para CEO BUMN untuk rapat koordinasi mingguan. Lokasinya digilir di kantor-kantor pusat BUMN dan rapatnya selalu pagi hari, jam 07.00. Kalau minggu ini rapatnya di kantor pusat Garuda Indonesia, minggu depannya pindah ke kantor BUMN lainnya lagi. Begitu seterusnya. Dengan cara seperti ini akhirnya para CEO BUMN menjadi saling kenal.

Lalu, karena ketika itu yang sedang tren adalah BlackBerry, maka Dahlan pun menggagas grup BBM untuk para CEO BUMN. Jadi, rapat-rapat atau pengambilan keputusan tak harus dilakukan di ruang rapat. Cukup lewat grup BBM.

Alhasil, sinergi mulai terbangun. 

Negeri SOP
“Musuh besar” pengusaha gila kerja dan suka kerja cepat adalah birokrasi yang lengkap dengan standard operating procedure (SOP) yang rigid. Ini ibarat gas dengan rem. Kalau jalanan macet, gas dan rem memang bisa dimainkan secara proporsional. Tapi, kalau jalanan tidak macet dan rem-nya terus diinjak, kita pun jengkel.

Sayangnya, kita lebih percaya integritas itu sebagai bagian dari rigidity, padahal dunia sendiri sudah membangun konsep agility yang berkebalikan.

Dahlan, saya kira, menghadapi situasi yang semacam ini. Kantornya, baik selama dia menjadi Dirut PLN atau Kementerian BUMN, sama-sama berisi birokrat. Padahal, sebagai entrepreneur, Dahlan perlu ditemani dengan intrapreneur (Anda paham bukan bedanya entrepreneur dengan intrapreneur, bukan?)

Di luar itu tentunya ada pertimbangan yang lebih besar, yakni kepentingan untuk kemaslahatan masyarakat.

Pertimbangan seperti inilah yang akhirnya bisa membuat Dahlan kena jerat dalam kasus pembangunan 21 gardu induk listrik. Siapa pemimpin yang tahan mendengar rakyatnya setiap hari mengeluh dengan listrik yang byar pet alias mati hidup. Maaf, persisnya lebih banyak matinya ketimbang hidupnya. Sudah banyak yang mempersulit, alamak, mafianya minta ampun. 

Negeri kita masih mendewa-dewakan SOP. Dalam banyak hal, ini celakanya, SOP kerap saling kait mengait sejumlah aspek, termasuk kepentingan atau sakit hati. Misalnya, SOP kerap digunakan untuk mencari-cari kesalahan. Alhasil, kerap hal yang lebih besar dikalahkan oleh kepentingan yang lebih kecil.

Keberpihakan semacam ini ternyata harganya bisa sangat mahal. Harga itulah yang kini harus dibayar oleh Dahlan. Bukan hanya untuk kasus gardu induk, tetapi juga kasus-kasus lainnya, seperti yang tengah ia hadapi di Jawa Timur.

Saya sama sekali tidak percaya kalau Dahlan Iskan didakwa melakukan korupsi atau memperkaya diri sendiri. Dia sudah kaya. Bahwa ia menabrak SOP, mungkin saja. Tapi, kalau itu untuk kepentingan yang lebih besar, apa salahnya? Hidup di negeri yang mendewa-dewakan SOP membuat kita sering tak bisa menjawab pertanyaan tadi. Maka, jadilah kita hanya bisa mengurut dada. Kok bisa!

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/aJ2niV

13 April 2017

My Blog

Berikut adalah blog yang saya kelola :

1. Blog Supberinergy [http://supberinergy.blogspot.co.id/]
Konten dari blog ini adalah kumpulan dari kata mutiara dan artikel tentang motivasi serta pengembangan diri. #Supberinergy mengambil filosofi dari sup yang berasal dari kumpulan bermacam-macam bahan pangan atau aneka makanan penyehat raga, pengenyang raga, banyak mengandung vitamin.

#Supberinergy hadir sebagai suplemen jiwa untuk hidup yang lebih baik.


2. Blog Sang Juara [http://sangparajuara.blogspot.co.id/]



3. Blog Suara Patikraja [https://suarapatikraja.wordpress.com/]

4. Blog Sang Karyawan [https://sangkaryawan.wordpress.com/]

5. Blog Cerah Bahagia [https://cerahbahagia.wordpress.com/]


11 Januari 2017

Festival Kuwung


Oleh : Rhenald Kasali

Akhir 2016 saya diundang ke Banyuwangi oleh Abdullah Azwar Anas, bupati yang gesit, cerdas, dan tak ada lelahnya. Saya diajak menyaksikan Festival Kuwung Banyuwangi yang digelar di pendapa kabupaten.

Festival Kuwung atau Pelangi menampilkan adat istiadat dan kesenian berbagai ragam etnis yang ada di Banyuwangi. Mulai kesenian Hindu Bali, suku Osing, etnis Tionghoa, Madura, Mandar, Mataraman, hingga kesenian-kesenian yang datang dari berbagai daerah di Indonesia lainnya.

Untuk memasarkan Banyuwangi, Anas mengaku menciptakan 53 festival setahun. Malam itu saya dan para undangan sangat menikmatinya. Menyaksikan aneka kebudayaan dan seni pertunjukan asli Banyuwangi yang indah.

Jadi, setiap minggu praktis ada festival yang membuat wisatawan selalu ingin datang. Kini di setiap desa anak-anak dan kaum muda aktif berlatih seni pertunjukan.Belum lagi para aparatur sipil negara yang tak henti-hentinya melakukan studi banding. Maklum, Banyuwangi adalah contoh penerapan disruptive government yang tangkas.

Kini rata-rata turis membelanjakan Rp 2 juta per hari per orang. Sehingga secara total sektor pariwisata Banyuwangi mampu menyumbang devisa senilai lebih dari Rp 50 miliar per tahun.

Bahkan, beberapa event dibuat aktivis-aktivis olahraga dunia. Misalnya balap sepeda internasional Tour de Banyuwangi Ijen, yang melewati alam pedesaan Maron, Kecamatan Genteng, Benculuk, lalu ke Sumber Buluh dan Rogojampi. Selain pesertanya dari mancanegara, banyak lembaga dunia yang ikut berpartisipasi dan menjadi sponsor.

Bupati membisiki saya bahwa mereka praktis tak keluar uang banyak. Bahkan bisa mendatangkan rezeki untuk masyarakat. Ini berbeda dengan Tour de Flores yang baru dimulai dan harus menghabiskan puluhan miliar rupiah uang pemerintah daerah serta sponsor lokal.

Terlalu banyak yang bisa dilihat di Banyuwangi. Ini tentu berbeda dengan Danau Toba yang masih ”disusui” pemerintah pusat. Presiden berkali-kali datang ke Danau Toba untuk membuka daerah itu, memimpin Festival Danau Toba agar kembali menjadi tujuan wisata. Padahal, di area sekitar Danau Toba terdapat delapan kabupaten dengan adat dan atraksi budaya yang sangat beragam. Hanya, pada tahap ini, masih terlalu sedikit event yang bisa ”dijual” Danau Toba. Juga belum terlalu solid para bupati bekerja sama.

Festival marketing atau pemasaran wisata melalui festival, kalau dikelola dengan baik, dapat menjadi motor pemacu pariwisata. Tentu tak perlu seminggu sekali. Satu saja event besar yang mendunia bisa mendatangkan turis tiada henti selama setahun. Sebut saja Darjeeling Tea Festival di Pegunungan Himalaya, Kala Ghoda Arts Festival (Mumbai), Onam Festival (Kerala, India), Pushkar Mela (Rajasthan), Octoberfest (Muenchen, Jerman), Rio Carnival (Brasil), Melbourne Comedy, New York Fashion Week, Glastonbury (Inggris), Mardi Gras (New Orleans, AS), Cosplay (Kanto, Jepang), dan banyak lagi.

Di Rio bahkan festival yang mendunia itu bisa mendatangkan 2 juta turis. Tapi, jangan salah, festival pertama di kota pantai itu sudah digelar sejak 1723. Dan, karena pengunjungnya banyak, tarif hotel serta restoran menjadi sangat mahal.

Disruptive Government
Namun, tentu saja tak ada yang salah kalaupun kita memulai perubahan dengan strategi international intensive festival. Festival yang berulang-ulang bisa melatih semua pihak, ya artis-artis lokal, pemerintah desa, masyarakat, sampai pemerintah kabupaten. Dalam hal apa? Ini tentu bukan sekadar semi pertunjukan, tapi membangun kapasitas birokrasi dalam merespons.

Jangan lupa, kita hidup dalam era disruption. Perubahan yang dipicu teknologi digital membuat manusia mampu berkolaborasi sehingga membuat marginal cost rendah, tarif pelancongan lebih terjangkau, dan segmen baru yang selama ini terabaikan kini masuk sebagai pasar.

Muncul business model baru yang membuat incumbents menjadi irrelevant, menjadi obsolete. Dunia pariwisata dituntut mengeksplorasi cara-cara baru. Dan untuk itu kita membutuhkan disruptive government. 

Saya ceritakan sedikit kepada Anda soal Banyuwangi yang sudah lebih dulu mengadopsi disruptive government dengan digitalisasi pelayanan. Hal ini agar Anda mudah memahami dan apa hubungannya dengan disruptive marketing. Banyuwangi sudah menjadi salah satu kabupaten paling terintegrasi di dunia maya. Dalam SKPD-nya saja, 61 badan, 24 kecamatan, 28 kelurahan, dan 188 desa sudah terintegrasi sistem informasinya.

Rapat-rapat pemkab bisa diadakan melalui grup WhatsApp. Beberapa program pun tercatat sebagai salah satu pionir di Indonesia seperti SIM perizinan, SMS gateway, LPPD, serta e-filling dan budgeting. Ada juga program Smart Kampung yang menghubungkan desa-desa dengan internet. Ini tentang bagaimana membuka akses dari masyarakat desa pada dunia yang luas.

Pertanyaannya, apakah hal itu sudah dilakukan para bupati lain yang tengah memasarkan pariwisata? Harap diingat, ekonomi pariwisata itu banyak pekerjaan rumahnya. Mulai fasilitas umum, informasi, kesehatan, pangan, kebersihan, petunjuk jalan, sampai urusan transportasi dan keamanan. Tanpa smart government yang baik, sulit rasanya mengintegrasikan dan menjamin masa depannya. Festival yang didorong dari atas saja tidak cukup.

Maksud saya, untuk menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan, juga untuk menjaga agar para pelancong mau ikut memublikasikan destinasi wisata yang dikunjunginya, dibutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai, akses internet yang kuat, dan pemerintahan yang gesit.

Disruptive Bureaucracy
Akhirnya, kita butuh birokrasi yang tangkas, transparan, dan direct. Di Pendapa Kabupaten Banyuwangi saya disuguhi sebuah ruang pelayanan, lengkap dengan beberapa layar komputer. Di situ saya bisa dengan mudah mengunduh informasi tentang potensi lokal dan program.

Bupati Anas menggunakan teknologi digital dan event yang akrab dengan rakyat untuk membentuk budaya birokrasi baru. Event yang padat itu mampu melancarkan myelin dalam birokrasi, mendorong partisipasi ekonomi rakyat, serta sekaligus membentuk engagement antara pemkab dan rakyatnya. Kalau sudah berjalan lancar begini, tentu saja pemerintah pusat tidak perlu terlalu sering hadir.

Ruangannya dibuat seperti VIP lounge bandara. Yang dilengkapi kopi, snack lokal, dan tentu saja wifi plus sofa. Kalau sudah terbuka dan nyaman seperti itu, pemerintah bisa tidur nyenyak karena sistem tersebut bekerja 24 jam. Memang betul, disruptive marketing tak bisa lepas dari disruptive bureaucracy, dan disruptive bureaucracy menuntut cara berpikir baru: disruptive mindset. (*)

Sumber : www.jawapos.com, klik https://goo.gl/zyCqzN