Olah Raga, Olah Jiwa

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya

Membaca Sedari Muda

Membaca : Membuka Cakrawala Dunia

Yang Muda Yang Berkarya

Berikan aku 10 Pemuda kan ku guncang dunia

Profesional

Kenali Diri, Kembangkan Diri, Jadilah Profesional

Belajar Sepanjang Hayat

Belajar sepanjang waktu, belajar dimanapun berada

16 Juli 2015

Selamatkan Pendidikan Dasar Kita!


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Ghafur, ST., M.Ed (Alumni Hiroshima University)

Hasil Ujian Nasional (UN) telah diumumkan. Setelah SMA dan SMP, terakhir jenjang SD mengikutinya. Saya sebagai orang tua yang anaknya ikut UN SD hanya menanggapinya biasa-biasa saja. Tak ada rasa khawatir berlebih kalau anak saya tidak lulus. Begitu juga dengan kecemasan jika nilai UN-nya jelek sehingga membuatnya susah untuk masuk ke sekolah negeri pilihan.

Sejak jauh hari, saya memang sengaja telah mendaftarkannya ke sekolah swasta. Di sana, ia sudah diterima. Tentunya, harus dengan cara mengelus dada. Mengapa? Karena saya harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membiayai anak saya masuk ke sekolah swasta tersebut.

Tapi yang hendak saya sampaikan di sini, bukanlah umbar-mengumbar rasa deg-degan hasil UN anak saya yang sudah lewat. Justru hasil UN itulah yang menyemburatkan rasa miris. Merujuk informasi yang saya peroleh, ternyata peringkat 10 besar hasil UN SD di kota saya tinggal itu didominasi oleh sekolah swasta. Perlu diketahui, saat ini saya bermukim di Depok. Di daerah ini, hanya ada 2 sekolah negeri saja yang mampu bersaing masuk di 10 peringkat ini. Tapi itu pun bukan berada diurutan awal. Hmm...

Informasi yang saya peroleh, terdapat 405 SD di kota tempat saya tinggal. Dari jumlah tersebut, sekolah negeri mendominasi secara jumlah. Sekolah swasta hanya beberapa persennya saja. Dengan komposisi mayoritas, sepatutnya sekolah negeri yang menguasai peringkat 10 besar. Kenyataannya ternyata tidak demikian. Prestasi sekolah negeri justru terpuruk. Bukan tahun ini saja, tapi sudah terjadi padra tahun-tahun sebelumnya.

Faktor apa yang menjadi penyebabnya? Ada banyak yang bilang karena kesejahteraan guru swasta lebih tinggi dibanding guru di sekolah negeri. Masa iya? Bukankah sekarang ini sudah ada sertifikasi guru sehingga membuat kesejahteraan guru-guru PNS jauh lebih baik dibandingkan dulu?

Lantas benarkah premis guru swasta itu sungguh bergelimang gaji besar dibandingkan guru PNS? Ah, siapa bilang mereka lebih sejahtera. Dari hasil bisik-bisik tetangga terungkap para guru sekolah swasta itu justru banyak yang 'menggemaskan' secara gaji. Padahal, biaya sekolah swasta itu tidaklah murah. Jadi kemanakah uang itu mengalir? Ya pemilik yayasanlah yang lebih tahu, tentunya.

Terlepas dari urusan gaji, sesungguhnya persoalan terpuruknya kualitas sekolah negeri ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Khususnya SD yang menjadi peletak pendidikan dasar. Jika ini dibiarkan terus, tentu saja hal ini dapat menghancurkan dari segi sistem dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.

Awal Kehancuran
Kehancuran itu telah dimulai ketika banyak orang tua yang enggan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah negeri. Mereka lebih percaya dan memilih sekolah swasta untuk pendidikan dasar anak-anak mereka. Saat itulah kian menguatnya keyakinan sekolah negeri kualitasnya sungguh “mengerikan” bagi masa depan anak-anak mereka. Alhasil, bisa jadi sekolah-sekolah negeri akan kehilangan banyak murid. Jika kondisinya demikian, semoga saja kita tidak terdengar adanya penutupan sekolah negeri.

Di sisi yang lain, ketika permintaan ke sekolah swasta meningkat hal ini justru menyisakan persoalan. Bagi orang-orang bermodal besar, ini adalah peluang yang menggiurkan. Mereka bakal berlomba-lomba mendirikan sekolah baru karena berpotensi besar menjadi ATM di masa depan. Dalam benaknya, sekolah adalah kendaraan tepat untuk mendulang rupiah.

Kondisi ini diperkuat karena tipikal orang tua siswa adalah konsumen yang lemah. Mereka tidak berkutik jika sekolah swasta meminta biaya ini dan itu. Keluhan-keluhan dan segala macam curhatan orang tua dibanyak kasus hanya menjadi obrolan warung kopi yang tidak memberikan efek perubahan apa-apa. Mereka terperah, tak berdaya dihadapan pengelola yayasan.

Kalau sudah begini, masyarakat luas yang dirugikan. Mereka tidak bisa lagi menikmati layanan pendidikan dasar yang murah dan berkualitas. Pendidikan terkepung oleh naluri-naluri pengejaran profit semata sekelompok orang. Atau kalau bukan profit yang dikejar maka motif penanaman ideologi tertentu dari sekelompok gerakan.

Dalam masyarakat timbul pembedaan-pembedaan golongan. Orang tua yang berkemampuan secara ekonomi akan memasukkan anaknya ke sekolah bagus dan mahal. Dan itu identik dengan sekolah yang berkualitas dimana ATM bank pun disediakan di lokal sekolah. Sedang orang tua yang tidak diuntungkan secara finansial akan terpaksa menyekolahkan anaknya di sekolah apa adanya dan murah.

Sebenarnya ujung-ujungnya negara juga yang rugi. Coba pikirkan, bisa jadi akan banyak masalah sosial akibat pembedaan kelas masyarakat. Selanjutnya, negara berpotensi kehilangan anak berbakat potensial yang karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya pada akhirnya hanya bisa bersekolah dengan kualitas apa adanya.

Kemudian, negara kehilangan waktu terbaik anak untuk menanamkan sikap nasionalisme kebangsaan kepada generasi-generasi penerus. Menanamkan sikap yang paling efektif pada saat anak-anak berada di pendidikan dasar. Dan masih banyak lagi seperti kehilangan daya beli masyarakat kelas menengah karena pengeluaran mereka banyak tersedot untuk biaya sekolah anak.

Oleh karenanya, pendidikan dasar harus diatur benar tata kelolanya sehingga banyak memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat dan bangsa. Negara harus memberikan perhatian yang besar dalam bentuk aksi nyata peningkatan kualitasnya.

Lebih penting lagi, pendidikan dasar setingkat SD dan SMP harus diproteksi negara dari serbuan sekolah-sekolah swasta. Rasanya, masih ada waktu untuk menyelamatkan pendidikan dasar kita. So, sekaranglah waktunya untuk menyelamatkan pendidikan dasar di negeri ini.

Sumber : www.republika.co.id, klik https://goo.gl/Wqk9L6

4 Juli 2015

Ironi Pendidikan di Negeri Ini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdul Ghafur (staf Kementerian Pendidikan dan Kedudayaan serta alumni Hiroshima University )

Zaman kuliah dulu, saya termasuk mahasiswa yang rajin menjadi pengajar privat. Anak-anak yang saya ajarkan, umumnya berpendidikan SMP. Mereka tersebar di berbagai tempat.

Penghasilan sebagai pengajar privat ini sudah cukup buat saya untuk memperpanjang nafas sampai akhir bulan. Melalui pekerjaan sampingan inilah, saya mendapatkan hasil lumayan. Setidaknya buat saya wara wiri membiayai living cost yang tidak murah.

Manfaat lain dari pekerjaan sampingan tersebut, tersimpan sebuah niat mulia agar saya tidak terlalu sering meminta dana kepada orang tua. Maklum saja, ayah saya hanya seorang guru SD di Jakarta. Pada masa itu, pendapatannya belum setajir seperti guru-guru DKI masa sekarang. Lalu ibu saya, hanya menyandang status sebagai ibu rumah tangga. Dengan menjadi pengajar privat, tentunya saya sudah bisa turut meringankan beban kedua orang tua.

Anak-anak yang saya ajar itu berasal dari sekolah swasta. Jika tak salah mengingat, tak ada dari mereka yang berasal dari sekolah negeri. Ya, mungkin hanya golongan ekonomi mereka saja yang mampu membayar seorang guru privat untuk anak-anaknya. Saya sangat paham itu karena bayaran mendatangkan guru privat tentu tidak murah.

Sehabis mengajar saya selalu menyempatkan diri untuk obrol sana dan sini dengan orang tua anak. Ujungnya, dengan proses bercerita yang mengalir, saya kerap memperoleh informasi seputar bayaran sekolah sang anak. Mendengar jawabannya, saya hanya bisa terhenyak kaget. Senyuman pun terasa getir.

Ternyata bayaran mereka yang baru menginjak level pendidikan dasar saja sudah bisa melebihi bayaran kuliah per semester saya di Universitas Indonesia (UI). Dengan mencoba berbesar hati, saya berusaha bersikap permisif. ''Ah namanya juga swasta, pasti hebohlah bayarannya,'' hanya dalam hati saya bergumam tentang bayaran anak-anak yang saya ajar privat itu.

Sayangnya, pengalaman itu terus berlanjut hingga kini. Kabarnya ada sekola berlevel sekolah dasar itu yang berani mematok biaya pendidikannya hampir setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) buruh yang bekerja di Jakarta! Sungguh, tak terbayang berapa penghasilan orang tua mereka.

Tak heran jika kemudian pendidikan di negeri ini telah menjelma menjadi bisnis yang sungguh menjanjikan. Lihat saja di kanan-kiri lingkungan sekitar kita. Tiba-tiba saja berdiri sebuah bangunan sekolah dengan biaya yang tak murah. Anehnya, semakin mahal biaya yang dipatok pengelola sekolah, orang tua yang mendaftar menjadi semakin mengantre. Saya pun bingung untuk menyebut fenomena semacam ini.

Sedihnya, yang banyak disasar oleh pemodal itu ternyata hanya sampai level pendidikan dasar saja. Asumsi saya karena modal yang dibutuhkan tak terlalu besar dibandingkan berinvestasi untuk pendidikan tinggi.

Dengan berinvestasi di level pendidikan dasar, upaya melakukan break event point tak terlalu lama. Coba pendidikan tinggi, investasinya terlalu besar. Mereka harus menyediakan laboratorium, bayar doktor, akreditasi dan lain sebagainya. Fenomena semacam ini justru terlihat terbalik jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jepang.

Semasa saya berkuliah di negeri Matahari Terbit itu saya melihat pemerintah setempat membuat regulasi yang ketat. Pihak swasta justru tidak bisa dibiarkan leluasa berekspansi di level pendidikan dasar. Jepang justru lebih membuka keran besar pihak swasta untuk terlibat hanya pada level pendidikan tinggi.

Tapi inilah ironi yang terjadi di negeri ini. Pendidikan dasar seakan menjadi pasar empuk untuk dikapitalisasi. Ia seakan menjelma menjadi ATM masa depan bagi sang pemilik modal. Siapa yang menjadi korban? Tentunya masyarakat luas.

Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam tanpa memiliki posisi tawar tinggi. Sebagian mereka 'terpaksa' memilih sekolah swasta karena sekolah negeri begitu 'mengerikan' secara kualitas buat anak-anak mereka.

Kalau sudah begini, selamat datang kapitalisme pendidikan! Saya, untuk kesekian kalinya, hanya bisa berdoa. Harapan juga tercurah semoga ada kesadaran dari masyarakat kita serta pemerintah untuk bisa menata ulang keterlibatan pihak swasta di jenjang pendidikan dasar di negeri ini.

Jika ingin meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa ini pemerintah harus dapat berperan lebih besar lagi. Utamanya terhadap tata kelola pendidikan dasar, bukan membiarkan pihak swasta saling berlomba mematok biaya tinggi.

Bukankah undang-undang kita mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatan pendidikan berkualitas dengan harga terjangkau. Bukan pendidikan yang hanya menciptakan kelas-kelas sosial dimana mereka yang bisa bayar mahal akan memperoleh pendidikan berkualitas. Buat yang berkantung super pas, silahkan mengecap pendidikan dasar ala kadarnya saja. Oh, inilah ironi dari pendidikan di negeri ini.

Sumber : www.republika.co.id, klik https://goo.gl/2Ys2N2